Tolak RUU Cipta Kerja, SPN Majalengka Akan Datangi Kantor DPRD

- 5 Oktober 2020, 11:43 WIB
RUU Cipta Kerja akan segera diresmikan meski di tengah situasi potensi resesi ekonomi.
RUU Cipta Kerja akan segera diresmikan meski di tengah situasi potensi resesi ekonomi. /RRI

PORTAL MAJALENGKA - Pimpinan Serikat Pekerja (PSP) Serikat Pekerja Nasional (SPN) Kabupaten Majalengka, Egiyana Amambar mengatakan, pihaknya akan menggelar Audiensi dengan DPRD Majalengka, Kamis 8 Oktober 2020 mendatang.

PSP SPN Majalengka menolak keras dengan adanya RUU Cipta Kerja Omnibuslaw dan meminta seluruh jajaran pemerintahan yang ada di Majalengka juga untuk ikut menolak.

 “Untuk Rencana aksi kami akan gelar Kamis mendatang dengan mengadakan audiensi dengan Dewan,” ujarnya ketika dikonfirmasi Senin 5 Oktober 2020.

Baca Juga: 130 Dokter Meninggal, Terbanyak di Jawa Timur

Sebelumnya, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyebut unjuk rasa buruh untuk menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja akan digelar di lingkungan perusahaan/pabrik masing-masing secara serentak di seluruh Indonesia, yang melibatkan sekitar 2 juta buruh.

Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan aksi unjuk rasa atau mogok nasional itu akan diadakan di masing-masing lokasi perusahaan/pabrik tempat para buruh bekerja pada 6-8 Oktober dari pukul 06.00-18.00 WIB.

"Jadi sebenarnya ini unjuk rasa, bukan mogok kerja, akan dilakukan serempak di seluruh Indonesia, dengan dasar hukumnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang menyampaikan pendapat di muka umum," kata Said di Jakarta, Sabtu 3 Oktober 2020.

Baca Juga: Selain Covid-19, Trump Didiagnosa Alami Pneumonia

Dilansir prfmnews.id dari ANTARA, Said mengatakan unjuk rasa diadakan di lingkungan kerja masing-masing, sebagai upaya untuk menghindari penyebaran penularan wabah Covid-19.

Serikat kerja di tingkat perusahaan, katanya, sudah mengirimkan surat izin kepada kepolisian resor (polres) masing-masing daerah, sementara serikat kerja di tingkat nasional juga telah mengirimkan izin untuk berunjuk rasa di lingkungan perusahaan/pabrik masing-masing kepada Mabes Polri.

Dengan menggelar unjuk rasa dari pukul 06.00 - 18.00 WIB, kata dia, berarti tingkat produksi kerja akan secara langsung terkena dampak dari aksi mogok nasional yang akan digelar secara serentak tersebut.

Baca Juga: Patut Ditiru, Bumdes Banjaran Beri Edukasi Tentang Sampah Kepada Anak Usia Dini

"Produksi akan setop karena dia unjuk rasanya dari jam 06.00 WIB pagi sampai jam 18.00 WIB sore. Dan lokasinya itu adalah masih di lingkungan pabrik, di halaman pabrik, di kantin, di halaman parkir mobil, dan area lain," katanya.

Said mengatakan unjuk rasa pada 6-8 Oktober tersebut akan melibatkan sekitar 2 juta buruh di 150 kabupaten/kota yang berada di 20 provinsi seluruh Indonesia, antara lain di DKI Jakarta seluruhnya, di Banten ada dari Kota dan Kabupaten Tangerang, Tangerang Selatan, Serang dan Cilegon.

Di Jawa Barat (Jabar) melibatkan para buruh dari Bogor, Depok, Bekasi, Karawang, Purwakarta, Subang, Cirebon, Bandung dan Cimahi.

Baca Juga: Bank Dunia Wacanakan Pembatalan Utang

Dari Jawa Tengah ada buruh yang ikut unjuk rasa dari Semarang, Kendal, Jepara dan di Jawa Timur ada dari Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Pasuruan, Gresik.

Untuk wilayah Sumatera, ada dari Sumatera Utara, Medan, Deliserdang, Serdang Bedagai. Di Kepulauan Riau ada kaum buruh dari Batam, Bintan, Karimun dan masih banyak lagi lainnya.

Sementara itu, tuntutan utama dalam unjuk rasa tersebut ada 10 poin, antara lain tentang pemutusan hubungan kerja (PHK), tentang sanksi pidana, tenaga kerja asing (TKA), tentang upah minimum kota/kabupaten (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kota/Kabupaten (UMSK), tentang pesangon, waktu kerja, hak upah atas cuti atau cuti yang hilang, tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau karyawan kontrak seumur hidup, "outsourcing" atau alih daya seumur hidup dan tentang potensi hilangnya jaminan kesehatan dan jaminan pensiun akibat karyawan kontrak atau alih daya seumur hidup.

Baca Juga: Tradisi Gelar Seni Budaya Nunuk

Dari 10 poin tuntutan tersebut, Panitia Kerja (Panja) Badan Legislasi (Baleg) DPR, kata Said, memang menyepakati agar tiga isu, yaitu isu tentang PHK, sanksi dan TKA, dapat kembali kepada ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

Namun demikian, menurut Said, tujuh isu lainnya juga sangat penting karena menyangkut kesejahteraan dan upah para buruh.

"Apa itu yang masih dituntut? Meminta UMK dan UMSK jangan hilang. Jadi kembali ke Undang-Undang Nomor 13/2013 tentang Ketenagakerjaan, UMK dan UMSK jangan hilang," katanya.

Baca Juga: Percepatan Pembangunan Pelabuhan Patimban  Saat Pandemi, Urgenkah?

Pada ketentuan terkait UMK dan UMSK tersebut, pemerintah dan DPR, kata Said, menetapkan harus bersyarat.

Sementara, serikat kerja menuntut agar ketentuan terkait UMK dan UMSK itu tidak bersyarat.

"Kita enggak setuju. Syarat apa maksudnya? Kita kan enggak jelas. Jadi (seharusnya) UMK tidak bersyarat dan UMSK tidak hilang," katanya.

Baca Juga: Bukit Mercury Sayang Kaak, Lokasi Wisata yang Instagramable di Majalengka

Kemudian, para buruh juga menuntut agar pesangon tidak dikurangi, selain mereka juga tidak setuju adanya ketentuan tentang karyawan kontrak dan tenaga alih daya seumur hidup tanpa ada batas waktu.

"Nah, hal-hal lain adalah tentang cuti atau cuti bagi pekerja perempuan khususnya, kemudian juga kita minta jangan ada yang hilang jaminan sosial buat karyawan kontrak dan 'outsourcing'. Kemudian, jangan ada juga waktu kerja yang eksploitatif karena itu adalah salah satu bentuk perbudakan," demikian Said Iqbal.***

Editor: Andra Adyatama

Sumber: PRFM News


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah