PORTAL MAJALENGKA - Berbagai macam teori yang mengangkat tentang ke-sunda-an yang diungkapkan para peneliti. Bahkan peneliti asing yang berfokus pada hilangnya wilayah Atlantis yakni Prof. Arysio Santos pun turut meramaikan dengan pendapatnya terkait wilayah Sunda.
Disebabkan minimnya bahan kajian tentang Sunda, maka para penelitipun banyak berpendapat dengan pendekatan teori yang mereka miliki masing-masing. Hal itu pun terjadi pada kerajaan-kerajaan yang sempat berdiri di wilayah Sunda seperti Pajajaran dengan rajanya yakni Prabu Siliwangi.
Minimnya artefak atau bahan kajian yang lain di tatar Sunda ini menyebabkan simpang siur informasi yang diterima masyarakat. Dilansir dari buku Pakuan Pajajaran di Tengah Pusaran Sejarah Dunia (2010:119), Sunda pada mulanya merupakan sebuah ajaran yang mengagungkan matahari.
Baca Juga: ORANG JAWA BARAT PERLU TAHU! Inilah Arti Kata Sunda Menurut Kitab Kuno
Ajaran tersebut lebih menitik beratkan kepada sistem atau cara berperilaku manusia beradab dibandingkan dengan sesembahan. Hal itu pula yang terjadi dengan sebuah ajaran bernama Sunda Wiwitan yang lebih menitik beratkan kepada perilaku manusia sebagai penyeimbang alam.
Dalam ulasan sebelumnya dijelaskan bahwa ajaran Sunda disinyalir menjadi pelopor sistem keratuan atau kerajaan. Hal tersebut terdiri dari Rasi, Ratu, Rama, Hyang. Rasi atau resi yakni pemegang kuasa adat atau lebih mudah disebut pihak yang memiliki kehendak memerintah.
Ratu yakni pihak-pihak yang menjalankan pemerintahan, dan rama yakni pihak yang menjaga dan menggunakan dua kekuasaan tersebut. Sedangkan Hyang adalah sosok yang menguasai alam semesta. Sistem pemerintahan tersebut tidak menanggalkan sosok tunggal yang disebut Hyang.
Baca Juga: Menilik Harimau Prabu Siliwangi, antara Mitos dan Bukti Sejarah di Tatar Sunda
Terlepas dari itu, ada sosok Sangkuriang yang dalam cerita rakyat Jawa Barat merupakan sosok yang kurang baik dicontoh. Hal tersebut karena adanya Sangkuriang yang ingin memperistri ibunya sendiri yakni Dayang Sumbi.