أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ اْلعَشَرَ اْلأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ. [رواه مسلم]
Artinya: "Nabi SAW melakukan itikaf pada hari kesepuluh terakhir dari bulan Ramadan, (beliau melakukannya) sejak datang di Madinah sampai beliau wafat, kemudian istri-istri beliau melakukan itikaf setelah beliau wafat." (HR Muslim).
Baca Juga: INILAH 7 Adab Iktikaf yang Penting Diperhatikan Agar Lailatul Qadar Bisa Diraih
Dari hadist di atas dapat dipahami bahwa itikaf adalah sebuah kebiasaan Rasulullah yang kemudian menjadi bagian kesenangan bagi umatnya.
Berkaitan dengan itikaf yang dilakukan pada malam Lailatul Qadar ini tampaknya butuh penjelasan. Karena itikaf sudah dianggap menjadi satu-satunya cara untuk meraih Lailatul Qadar yang mulia tersebut.
Dalam hal ini tidak sedikit kaum muslim yang bertanya, apakah itikaf di masjid menjadi satu-satunya cara untuk mendapat Lailatul Qadar, sedangkan ia tidak punya kesempatan tersebut?
Banyak hal yang menuntut mereka tidak bisa beritikaf malam di masjid baik karena profesi, kondisi atau keadaan lainnya. Lantas apa mereka yang mengalami hal demikian tidak bisa memiliki kesempatan?
Permasalahan ini juga sempat disampaikan
Juwaibir kepada Ad-Dhahaak,
أرأيت النفساء و الحائض و المسافر و النائم لهم في ليلة القدر نصيب ؟ قال : نعم كل من تقبل الله عمله سيعطيه نصيبه من ليلة القدر
“Bagaimana pendapatmu mengenai wanita yang nifas dan haid, musafir dan orang yang tidur, apakah mereka bisa mendapatkan malam lailatul qadar?”