Sejarah Batoro Katong Manusia Sakti Setengah Dewa, Wali Sakti Masa Walisongo dan Sunan Gunung Jati

- 20 Juni 2022, 09:33 WIB
Sejarah Batoro Katong Manusia Sakti Setengah Dewa, Wali Sakti Masa Walisongo dan Sunan Gunung Jati
Sejarah Batoro Katong Manusia Sakti Setengah Dewa, Wali Sakti Masa Walisongo dan Sunan Gunung Jati /YouTube Kisah Kyai Nusantara

PORTAL MAJALENGKA - Sejarah Batoro Katong yang dijuluki Manusia Sakti Setengah Dewa, karena karomah kesaktiannya dalam dakwah Islam.

Wali sakti ini bisa masuk ke sebuah wilayah yang tidak bisa ditaklukan oleh Walisongo termasuk Sunan Gunung Jati.

Bagi masyarakat Ponorogo Jawa Timur, Batoro Katong diyakini sebagai penguasa pertama Ponorogo, sekaligus pelopor penyebaran agama Islam di Ponorogo.

Baca Juga: 3 Wali yang Menguburkan Sunan Gunung Jati, Jasad Sucinya Sirna ke langit Dijemput Para Malaikat

Portal Majalengka mengutip sejarah Batoro Katong dari YouTube Kisah Kyai Nusantara yang diunggah pada 16 Februari 2022

Batoro Katong merupakan salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari selir Putri Campa yang beragama Islam. Beliau memiliki nama asli Lembu Kanigoro.

Berdasarkan catatan sejarah dari keturunan generasi ke-126 beliau yaitu Ki Padmosusastro, Batoro Katong kecil bernama Raden Joko Piturun atau disebut juga Raden Harak Kali.

Baca Juga: Inilah 3 Pusaka Sakti Prabu Siliwangi yang Banyak Dicari Orang

Beliau adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari garwo pangrambe atau elir yang tinggi kedudukannya.

Kakaknya, Lembu Kenongo atau Raden Fatah mendirikan kesultanan Demak Bintoro di ujung kekuasaan Majapahit.

Walisongo yang membujuk Prabu Brawijaya V dengan menawarkan seorang Putri Campa yang beragama Islam untuk menjadi Istrinya.

Baca Juga: Berjalan dan Merokok di Dasar Lautan, Keramat Sakti Syekh Abdul Muhyi Wali Pasca Sunan Gunung Jati

Walaupun kemudian Prabu Brawijaya gagal masuk Islam, tetapi perkawinannya dengan putri Cempa mengakibatkan meruncingnya konflik politik di Majapahit.

Diperistrinya putri Cempa oleh Prabu Brawijaya V memunculkan reaksi protes dari elit istana yang lain salah satunya dari Pujangga Anom Ketut Suryongalam, seorang penganut Hindu, yang berasal dari Bali.

Pujangga Anom keluar dari Majapahit, dan membangun peradaban baru di tenggara Gunung Lawu sampai lereng barat Gunung Wilis, yang kemudian dikenal dengan nama Wengker atau Ponorogo saat ini.

Ki Ageng Ketut Suryangalam ini kemudian di kenal sebagai Ki Ageng Kutu atau Demang Kutu.

Derah yang menjadi tempat tinggal Ki Ageng Kutu dinamakan Kutu, yang kemudian menciptakan sebuah seni Barongan, yang kemudian disebut REOG.

Reog tidak lain merupakan artikulasi kritik simbolik Ki Ageng Kutu terhadap raja Majapahit (disimbolkan dengan kepala harimau), yang ditundukkan dengan rayuan seorang perempuan/Putri Campa (disimbolkan dengan dadak merak).

Dan Ki Ageng Kutu sendiri disimbolkan sebagai Pujangga Anom atau sering di sebut sebagai Bujang Ganong, yang bijaksana walaupun berwajah buruk.

Pada akhirnya, upaya Ki Ageng Kutu untuk memperkuat basis di Ponorogo inilah yang pada masa selanjutnya dianggap sebagai ancaman oleh kekuasaan Majapahit.

Selanjutnya pandangan yang sama dimiliki juga dengan kasultanan Demak, yang notabene sebagai penerus kejayaan Majapahit meskipun bercorak Islam.

Sunan Kalijaga, bersama muridnya Kiai Muslim atau Ki Ageng Mirah mencoba melakukan investigasi terhadap keadaan Ponorogo untuk mencermati kekuatan-kekuatan yang paling berpengaruh di Ponorogo.

Mereka menemukan Demang Kutu sebagai penguasa paling berpengaruh saat itu.

Demi kepentingan ekspansi kekuasaan dan Islamisasi, penguasa Demak mengirimkan seorang putra terbaiknya, yakni yang kemudian dikenal luas dengan Batoro Katong

dengan salah seorang santrinya bernama Selo Aji dan diikuti oleh 40 orang santri senior yang lain.

Raden Katong akhirnya sampai di wilayah Wengker, lalu kemudian memilih tempat yang memenuhi syarat untuk pemukiman, yaitu di Dusun Plampitan, Kelurahan Setono, Kecamatan Jenangan.

Saat Batoro Katong datang memasuki Ponorogo, kebanyakan masyarakat Ponorogo adalah penganut Budha, animisme dan dinamisme.

Singkat cerita, terjadilah pertarungan antara Batoro Katong dengan Ki Ageng Kutu. Ditengah kondisi yang sama sama kuat, Batoro Katong kehabisan akal untuk menundukkan Ki Ageng Kutu.

Kemudian dengan akal cerdasnya Batoro Katong berusaha mendekati putri Ki Ageng Kutu yang bernama Niken Gandini, dengan di iming-imingi akan dijadikan istri.

Kemudian Niken Gandini inilah yang dimanfaatkan Batoro Katong untuk mengambil pusaka Koro Welang, sebuah pusaka pamungkas dari Ki Ageng Kutu.

Pertempuran berlanjut dan Ki Ageng Kutu menghilang, pada hari Jumat Wage di sebuah pegunungan di daerah Wringin Anom Sambit Ponorogo. ***

Editor: Muhammad Ayus

Sumber: YouTube Kisah Kyai Nusantara


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah