Asal-usul Kerajaan Mataram dan Profil 10 Raja Penguasanya

15 November 2022, 16:09 WIB
Ilustrasi Kerajaan Mataram yang memiliki asal usul dan dipimpin beberapa raja. /

PORTAL MAJALENGKA - Kerajaan Mataram (kesultanan Mataram) adalah sebuah negara yang berbasis agama Islam yang terletak di Jawa pada abad ke-17.

Kerajaan Mataram berawal dari tanah yang diberikan oleh Hadiwijaya kepada Ki Ageng Pamanahan, karena berhasil mengalahkan Arya Panangsang.

Kemudian Kerajaan Mataram berdiri menggantikan kerajaan Pajang setelah Hadiwijaya wafat tahun 1987. Sedangkan putranya, Sultan Benowo kalah pengaruhnya dengan pangeran Sutawijaya yang mengakibatkan kekuasaannya direbut.

Baca Juga: Kisah Sultan Agung Menikah dengan Ratu Kidul, Raja Mataram Islam yang Sakti

Kesultanan ini menjadi salah satu kerajaan Islam terbesar yang pernah berkuasa di Jawa. Kekuasaan tersebut dibuktikannya dengan kekuatan militer dan politik dalam menyerang VOC di Batavia, dan menolak semua pengaruh politik dan ekonomi dalam kerajaan.

Namun sangat ironis sekali pada akhirnya, kerajaan Mataram jatuh ke dalam politik VOC dan terbelah menjadi kesultanan Surakarta dan Yogyakarta dalam perjanjian Giyanti di tahun 1755.

Awal mulanya berdirinya kerajaan ini terletak di Alas Mentaok, sebidang tanah di Kali Opak dan Kali Progoh. Tanah ini diberikan oleh Sultan Pajang (Sultan Hadiwijaya) kepada Ki Ageng Pemanahan.

Kemudian pengembangan wilayah pun dilakukan sejak masa Ki Ageng Pemanahan dan dilanjut oleh putranya, Sultan Sutawijaya yang menggantikan sang ayah dengan gelar Panembahan Senopati Ing Alaga, dia menjabat sejak tahun 1584 - 1601.

Baca Juga: Kerajaan Mataram Karangasem Ahli Tata Kota, Mampu Jawab Tantangan Generasi Zaman yang Panjang

Berikut adalah daftar raja-raja kerajaan Mataram:

1. Sutawijaya/ Panembahan Senopati (tahun 1584-1601).

Panembahan Senopati selaku sultan pertama berkuasa selama 17 tahun, sejak menggantikan Ki Ageng Pemanahan yang wafat. Ia memang menggantikan ayahnya yang wafat pada tahun 1984, namun Mataram baru menjadi sebuah negara ketika Panembahan Senopati merebut kuasa dari Pajang setelah Hadiwijaya wafat.

Sehingga beberapa literatur menempatkannya sebagai sultan pertama. Pada masa kekuasaannya, dia menaklukkan berbagai wilayah sekitar seperti Madiun, Surabaya, dan Kadiri. Ia juga menguasai daerah Priangan dan menjalin persahabatan dengan Cirebon.

Baca Juga: Sultan Agung, Sosok Raja Mataram Islam yang Sakti Mandraguna

2. Raden Mas Jolang/ Panembahan Seda ing Krapyak (tahun 1601-1613).

Raden Mas Jolang adalah putra Panembahan Senopati dari selir. Ia menyempurnakan pembangunan komplek Kotagede meliputi Taman Danalaya, segaran, dan komplek pemakaman.

Raden Mas Jolang secara mengejutkan wafat pada tempat perburuan (Krapyak) sehingga dikenal dengan Panembahan Seda ing Krapyak.

3. Raden Mas Rangsang/ Sultan Agung Hanyakrakusuma (tahun 1613-1645).

Sultan Agung terkenal sebagai raja terbesar Mataram, sekaligus raja terakhir yang menyaksikan kejayaannya. Ia bertakhta menggantikan Raden Mas Jolang yang wafat mendadak, dan berkeinginan untuk menyatukan kembali wilayah yang mulai melepaskan diri.

Pada tahun 1625, sultan melancarkan penaklukkan yang terkenal terhadap Surabaya. Menyusul Pati, Giri, dan Blambangan. Hubungan politik Mataram dengan VOC di Batavia memburuk sejak 1624. Mataram menggempur Batavia pada tahun 1628 dan 1629, dan keduanya berujung kegagalan.

Pada masa kekuasaannya Mataram meningkatkan produksi dan ekspor beras melalui pelabuhan Pantai Utara Jawa. Ia juga membangun komplek perkotaan baru di Plered, komplek pemakaman Girilaya, dan Makam Imogiri. Sultan Agung juga mengeluarkan kalender tahun Jawa yang merupakan kombinasi penanggalan Islam dan Hindu.

Baca Juga: Peninggalan Kerajaan Mataram Islam yang Masih Dapat Dijumpai, Salah Satunya Pertapaan Kembang Lampir

4. Raden Mas Sayidin/ Amangkurat I (tahun 1646-1677).

Sultan Agung wafat pada tahun 1645, digantikan putranya Raden Mas Sayidin. Sesuai perencanaan pada periode sebelumnya mengenai perkotaan baru di daerah Plered, ia memindahkan pusat kekuasaan dari Kotagede dua tahun kemudian.

Amangkurat I diketahui kurang mampu meraup dukungan dari rakyat dan pejabat kerajaan, sehingga ia mulai mendekati VOC. Aksi ini menimbulkan ketidaksenangan di kalangan keraton, terlebih Amangkurat bersikap ekstrim terhadap para penentangnya.

Kekacauan memuncak ketika Trunojoyo pada 1670-an memberontak, merebut wilayah pantai utara dan keraton Plered pada 1677. Amangkurat melarikan diri menuju Cirebon, namun wafat dalam perjalanannya.

5. Pangeran Adipati Anom/ Amangkurat II (tahun 1677-1703).

Pada masa ini, Kesultanan Mataram dikenal dengan nama Kasunanan Kartasura. Karena pusat kekuasaan berpindah ke Kartasura, dan raja yang menggunakan gelar Susuhunan (Sunan). Amangkurat II melanjutkan gerakan melawan pemberontakan Trunojoyo.

Tahun 1678 dengan bantuan VOC berhasil menghancurkan pusat pemberontakan di Kadiri. Meski begitu, gejolak masih berlangsung sampai dengan tahun 1681. Akibat hancurnya Plered, ia memindahkan kekuasaannya ke Kartasura.

Amangkurat II memberikan konsesi politik dan ekonomi yang besar kepada VOC, meski begitu hubungan tidak berlangsung baik karena raja tidak menepati banyak dari janjinya. Bahkan melindungi Surapati pada 1684, dan membiarkan Kapten Francois Tack wafat di keraton pada tahun 1686.

Baca Juga: Sosok Sultan Agung Hanyokrokusuma, Raja Mataram Islam yang Sakti Mandraguna

6. Amangkurat III (tahun 1703-1705).

Pergantian kekuasaan menuju Amangkurat III diwarnai pemberontakan oleh Pangeran Puger yang berhasil dipadamkan oleh Amangkurat II. Namun, seiring kekuasaan Amangkurat III berjalan, dukungan kepada Pangeran Puger meningkat.

Terlebih setelah insiden Surapati dan Tack, VOC tidak lagi percaya pada garis keluarga Amangkurat. Pada tahun 1704, Pangeran Puger mengangkat diri sebagai Sunan Kartasura dengan gelar Pakubuwana I dan mengobarkan perang melawan Amangkurat. Amangkurat terpaksa melarikan diri dan menyerahkan Kartasura.

7. Pakubuwana I (tahun 1705-1719).

Pakubuwana I berhasil menguasai Kartasura mengalahkan Amangkurat III, menjadi raja yang sah namun semakin terikat dengan VOC. Ia bahkan terpaksa mengeksekusi Adipati Jangrana yang membantunya melawan Amangkurat III, karena VOC menilai Jangrana membantu pemberontakan Surapati. Pakubuwana wafat pada tahun 1719 dan digantikan oleh putranya.

Baca Juga: RIWAYAT PERTEMUAN Nur Muhammad dengan 4 Unsur Alam sebelum Penciptaan Nabi Adam AS

8. Amangkurat IV (tahun 1719-1726).

Amangkurat IV adalah putra dari Pakubuwana I yang memilih menggunakan gelar Amangkurat. Kenaikan tahtanya diwarnai pemberontakan oleh Pangeran Blitar, Purbaya, Madiun, serta Arya Mataram di Pati. Seluruhnya berhasil ditumpas dengan bantuan VOC. Namun akhirnya ia wafat karena diracun pada tahun 1726.

9. Pakubuwana II (tahun 1726-1749).

Pakubuwana II adalah putra Amangkurat IV. Pada masa kekuasaannya diwarnai dengan peristiwa besar yaitu Geger Pacinan. Pemberontakan orang-orang Tionghoa dan Jawa melawan VOC dikarenakan pembantaian orang Tionghoa di Batavia.

Sunan mendukung perlawanan terhadap VOC, namun pemberontakan berhasil ditumpas oleh VOC yang dibantu oleh Cakraningrat IV. Pakubuwana kemudian memindahkan kekuasaan ke Surakarta (Sala). Mataram dikuasai oleh Gubernur Jenderal Baron van Imhoff, yang memaksa untuk mengambil alih kekuasaan dari Pakubuwana yang sakit pada 1747, dan menunjuk raja baru sesuai izinnya.

Baca Juga: BELAJAR Memahami Makna Simbol Warna Wajah dan Badan Wayang Kulit

10. Pakubuwana III (tahun 1749-1788)
Pakubuwana III diangkat oleh van Imhoff untuk menjadi Sunan. Ia mengikuti semua kata VOC, sehingga posisinya sebagai raja tidak ada artinya. Ia terpaksa menyetujui Perjanjian Giyanti yang membelah kekuasaan menjadi Yogyakarta dan Surakarta pada tahun 1755.

Dia masih menjabat sampai 1788 sebagai Sunan Surakarta. Sementara Pangeran Mangkubumi (Putra Amangkurat IV) yang berdamai dengan VOC memperoleh kekuasaan di Yogyakarta dengan gelar Hamengkubuwono. *

Editor: Ayi Abdullah

Tags

Terkini

Terpopuler