Sosok Raja yang Menjadi Biang Kerok Runtuhnya Kerajaan Pajajaran Pasca Prabu Siliwangi Kakek Sunan Gunung Jati

15 Juni 2022, 15:54 WIB
Lukisan Prabu Siliwangi Sosok Raja yang Menjadi Biang Kerok Runtuhnya Kerajaan Pajajaran Pasca Prabu Siliwangi Kakek Sunan Gunung Jati /YouTube

PORTAL MAJALENGKA – Pajajaran termasuk satu dari sekian kerajaan besar yang ada di Nusantara dengan sosok raja sakti dan bijaksana Prabu Siliwangi.

Sosok Prabu Siliwangi yang tak lain kakek Sunan Gunung Jati dikenal sakti dan bijaksana membuat Pajajaran semakin kuat dan sejahtera.

Sampai suatu ketika Pajajaran yang saat di bawah pimpinan Prabu Siliwangi merupakan kerajaan terkuat tiba-tiba runtuh dan hilang tanpa bekas.

Baca Juga: INILAH Pengembaraan Sunan Gunung Jati dan Ibunya Rara Santang Pulang dari Mesir ke Wilayah Prabu Siliwangi (3)

Bahkan Sunan Gunung Jati yang masih menjadi keturunan Prabu Siliwangi tidak meneruskan tahta kerajaan Pajajaran.

Setelah masa kepemimpinan Ratu Dewata Pakuan Pajajaran kemudian diteruskan oleh keturunannya yang bernama Ratu Sakti yang berkuasa di Pajajaran selama kurang lebih delapan tahun dimulai dari tahun 1543 sampai 1551 Masehi.

Sejak pada masa Ratu Dewata bertahta keadaan pakuan Pajajaran sudah mulai nampak adanya penurunan.

Baca Juga: INILAH Pengembaraan Sunan Gunung Jati dan Ibunya Rara Santang Pulang dari Mesir ke Wilayah Prabu Siliwangi (2)

Hal tersebut dikarenakan sikap dan karakter sang Ratu Dewata yang lebih mengutamakan masalah keagamaan sehingga cenderung lalai akan militer pertahanan kerajaan.

Namun demikian Pajajaran pada saat itu masih bisa bertahan di tengah gempuran serangan pasukan Banten. Semua itu berkat adanya para panglima perang kepercayaan Prabu Surawisesa yang sudah terlatih di medan pertempuran.

Keadaan itu berlangsung sampai Prabu Dewata turun Tahta. Kemudian digantikan oleh Ratu Sakti.

Baca Juga: INILAH Pengembaraan Sunan Gunung Jati dan Ibunya Rara Santang Pulang dari Mesir ke Wilayah Prabu Siliwangi (1)

Menurut Carita Parahyangan, zaman kaliyuga atau akhir zaman di kerajaan Pajajaran dimulai dari masa Ratu Sakti bertahta.

Pendapat lain menyatakan bahwa zaman kaliyuga berlangsung pada masa Prabu nilakendra yang kelak menjadi penerus Tahta Ratu Sakti di Pajajaran.

Namun jika diurut dari sisi permasalahannya justru keadaan tersebut dimulai dari zaman ketika Ratu Sakti menjabat sebagai Raja Pajajaran.

Di tengah gempuran kekuatan Cirebon dan Banten yang dibantu penuh oleh Kesultanan Demak pamor Pajajaran pun semakin melemah.

Hal tersebut bukan hanya pengaruh dari munculnya kekuatan baru yaitu Kesultanan Cirebon dan Banten.

Namun melemahnya pamor Pajajaran dipengaruhi juga oleh kepemimpinan raja-raja pada saat itu yang tidak mampu menjaga dan memimpin Pajajaran dengan baik.

Sebelumnya, Pajajaran dipimpin oleh Ratu Dewata seorang raja alim yang sangat taat terhadap ajaran agama, akan tetapi ia mengabaikan urusan negara terutama dalam urusan pertahanan istana.

Sebagai penerus Tahta Ratu Dewata di Pajajaran, Ratu Sakti tentu saja perlu untuk menstabilkan keadaan negara yang pada saat itu mulai melemah. Pada masa Ratu Sakti sebetulnya la mempunyai peluang besar untuk mengembalikan kejayaan Pajajaran.

Dengan mengambil alih wilayah wilayah Pajajaran yang telah dikuasai oleh Cirebon, terutama wilayah Banten dan kelapa yang sedang mengalami kekosongan.

Pasukan Cirebon dan Banten pada saat itu tengah disibukkan dalam misi penyerangan ke wilayah Pasuruan dan Panarukan bersama dengan Kesultanan Demak. Serangan Pasukan gabungan Kesultanan Demak Cirebon dan Banten ke wilayah Pasuruan dan Panarukan.

Tentu saja menguras energi dari pihak Cirebon dan Banten yang menyebabkan terpecahnya fokus mereka ke wilayah Pajajaran, terlebih lagi ketika sultan Trenggono yang menjabat sebagai Sultan gugur dalam peristiwa tersebut.

Ketidakstabilan pemerintahan Demak semakin memuncak setelah gugurnya putra mahkota Cirebon yakni Pangeran Pasarean yang merupakan menantu Sultan Trenggono. Keadaan Demak semakin tidak terkendali setelah banyaknya huru-hara yang terjadi di kalangan kerabat keraton.

Ketidakstabilan Demak berlangsung cukup lama hingga pada tahun 1546 Masehi, secara resmi kerajaan Demak dinyatakan runtuh dan digantikan oleh kerajaan pajang yang kemudian kelak dilanjutkan oleh Kesultanan Mataram.

Dengan kondisi demikian tentu saja sangat berpengaruh terhadap Cirebon dan Banten Karena bagaimanapun Demak adalah sekutu sekaligus kekuatan besar yang berdiri di belakang Cirebon dan Banten.

Di sisi lain keadaan tersebut sangat menguntungkan pihak Pajajaran yang seharusnya bisa dimanfaatkan oleh Ratu Sakti untuk mengembalikan kejayaan serta martabat Kerajaan Pajajaran. Akan tetapi langkah yang dilakukan justru sebaliknya, kesan masyarakat terhadap rajanya sangat jauh dari istilah bijaksana.

Berbeda dengan Ratu Dewata Raja Pajajaran sebelumnya yang sangat Alim Ratu Sakti justru memiliki karakter yang keras arogan dan lebih mementingkan urusan pribadinya. Saat memimpin kerajaan, Ratu Sakti lebih banyak menyelesaikan permasalahan dengan cara menekan dan kejam.

Aturan dan kebijakan yang ia terapkan tidak sedikit membuat rakyat dan bahkan pejabat istana dihukum mati hanya karena melakukan pelanggaran yang terbilang kecil.

Ratu Sakti menerapkan aturan pembayaran pajak atau upeti yang sangat besar hanya untuk kepentingan istana. Tentu saja hal tersebut Sangat memberatkan rakyat dengan membuat aturan yang berdasarkan keputusan sendiri. Ratu Sakti dianggap tidak menghormati para sesepuh dan para resi atau pendeta sebagai penasihat kerajaan.

Dari sekian banyak peraturan dan sikap Ratu Sakti yang kurang terpuji terdapat pelanggaran besar yang dilakukan ketika Ratu Sakti memutuskan untuk menikah istri larangan Tikaluaran dan menikahi istri dari para selir ayahnya yang dianggap melanggar dua pantangan dari tiga kategori istri larangan yang sudah ada sejak masa leluhur Pajajaran.

Perbuatan Ratu Sakti memancing reaksi rakyat dan sebagian besar pejabat istana yang sudah tidak lagi memiliki kepercayaan dan hormat terhadap rajanya untuk melawan. Di beberapa daerah mulai muncul perlawanan yang dilakukan dengan cara tidak membayar upeti dan banyak juga rakyat yang beralih ke Cirebon dan Banten dengan mengakui kedudukannya sebagai negara.

Kondisi kerajaan Pajajaran semakin memburuk, ditambah munculnya perlawanan rakyat yang meminta Ratu Sakti untuk turun Tahta dari jabatannya sebagai Raja Pajajaran.

Desakan kuat dari hampir seluruh rakyat Pajajaran pihak istana tidak mampu lagi menahan kemelut tersebut Kemudian pada tahun 1551 masehi Ratu Sakti pun turun Tahta dari jabatannya sebagai Raja Pajajaran yang kemudian digantikan oleh Prabu Nilakendra.

Keadaan buruk yang menimpa Pajajaran sebenarnya bisa membuat Pajajaran hilang dan rakyat memilih untuk pergi. Namun kesetiaan rakyat pada Prabu Siliwangi membuat mereka hanya menuntut Ratu Sakti untuk turun tahta.***

Editor: Muhammad Ayus

Sumber: Youtube Bujang Gotri

Tags

Terkini

Terpopuler