Sering orang menyebut Indonesia 90% penduduknya beragama Islam. Oleh karena itu kalau memilih pemimpin (perwakilan DPR dan lain-lain) yang mewakili suara umat Islam.
Baca Juga: BBM Resmi Naik! Motor Listrik Kini Mulai Dilirik, Berikut Harga dan Berbagai Mereknya
Tetapi persoalannya, 90% itu hanya logistik angka dan apabila dikupas yang sebenarnya ternyata tidak sederhana. Kalkulasi sederhana saja, misalnya yang 90% itu dibagi menjadi “Islam Santri” (yang menjalankan syareat agama) dan “Islam Abangan atau KTP” (yang tidak menjalankan syareat agama), di antara keduanya lebih banyak yang mana?
Kemudian apabila dipetakan perwakilan di DPR kebijakannya bagaimana? Atau dibuat analogi dengan melihat kondisi riil masyarakat (dusun, desa, kecamatan, kabupaten bahkan propinsi) antara yang menjalankan syareat agama dengan tidak, berapa perbandingannya?
Apabila kemudian ditarik sistem perwakilan (wakil rakyat) yang menyebar di Golkar, PDIP, Demokrat dan Gerindra ideologi keagamaannya tidak sama dengan yang di PPP, PKS, PAN atau PKB.
Baca Juga: JASAD UTUH PECINTA SHOLAWAT Diungkap Habib Luthfi bin Yahya
Kelompok pertama membawakan kepentingan bermacam-macam (nasionalis). Kelompok kedua membawakan kepentingan suara partai Islam.
Kemudian yang menang ternyata kelompok pertama. Hal demikian bukan berarti kemudian tidak beragama atau berpaham komunis, karena menolak kepentingan partai Islam. Tetapi lebih disebabkan kondisi riil di lapangan isinya bangsa Indonesia adalah majemuk, plural, bermacam-macam dari berbagai budaya dan agama.
Oleh karena itulah dalam setiap pemilu sejak Pemilu ke-1 tahun 1955 , Pemilu II, Pemilu III, Pemilu IV dan seterusnya sampai sekarang pemenangnya selalu dari pihak nasionalis.
Baca Juga: SEJARAH INDONESIA, Inilah Cikal Bakal PKI, Awalnya Bukan Berpaham Komunis