Ketiga, pembangunan yang tidak mengikuti kaidah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) terutama di wilayah dataran rendah. Hal inilah yang seringkali menyebabkan hujan kiriman dari wilayah datan tinggi tak mampu diserap hingga menyebabkan banjir.
Keempat, adanya kebijakan yang pro pada para kapitalis. Selama ini pembangunan yang harusnya memperhatikan kelestarian hutan, lahan serta keseimbangan alam dan lingkungan justru terabaikan.
Baca Juga: WHO Pertegas Efektivitas Masker Cegah Covid-19
Namun yang kita saksikan hari ini justru berbeda realitanya. Pembangunan dengan paradigma kapitalistik telah menyebabkan kerusakan alam. Bencana banjir tak serta merta karena adanya fenomena alam namun juga campur tangan manusia.
Kita cukup mudah mengindra bahwa sistem politik demokrasi tidak memberi ruang sama sekali bagi kebenaran ilmu pengetahuan kecuali jika hal tersebut menguntungkan agenda korporasi dan rezim.
Lihat saja laporan dari organisasi lingkungan Jerman, Naturschutzbund pada laman dw.com (2/6/2016) bertajuk Bagaimana Ambisi Iklim Eropa Membunuh Hutan Indonesia menegaskan hanya untuk memenuhi kebutuhan impor Eropa pada tahun 2012 dibutuhkan lahan produksi seluas 7.000 kilometer persegi.
Baca Juga: Sudah 130 Ribu Lebih Nakes Divaksinasi di 92 Kabupaten dan Kota di Seluruh Indonesia
Tak hanya itu, terdapat banyak riset dan kajian tentang bahaya alih fungsi lahan yang terjadi secara masif di beberapa wilayah di Indonesia, namun sebagaiaman umumnya, dominasi korporasi begitu kuat sehingga berujung pada lahirnya perundang-undangan yang melegalkan pelanggaran tersebut.***