Solusi Islam Mengatasi Banjir

- 25 Januari 2021, 06:00 WIB
Wakil Bupati Majalengka meninjau lokasi areal persawahan yang banjir di kecamatan Jatitujuh
Wakil Bupati Majalengka meninjau lokasi areal persawahan yang banjir di kecamatan Jatitujuh /Pikiran Rakyat/Portal Majalengka/

Oleh : Dwi P Sugiarti

(Aktivis Muslimah Majalengka)

Banjir seolah menjadi cerita yang tak pernah luput saat musim hujan tiba. Ibarat sebuah kado, banjir menjadi kado pahit di awal tahun 2021. Sejumlah wilayah di negeri ini telah tergenang air hujan.

Setidaknya semenjak akhir tahun lalu hingga awal tahun 2021, ada 5 wilayah yagi terendam antara lain Kabupaten Bima NTB, Semarang, kabupaten Bandung, Bekasi Hingga DKI Jakarta. Namun tak hanya sampai disitu bencana banjir merambah ke beberapa wilayah.

Kalimantan selatan menjadi wilayah terparah yang terendam banjir pada awal tahun 2021. Di Jawa Barat, beberapa kabupaten selain Bandung dan Bekasi juga turut menjadi korban banjir.

Baca Juga: Luhut Binsar Pandjaitan Coba Alat Deteksi Covid-19 GeNose

Salah satunya Kabupaten Majalengka. Tercatat oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Banjir setinggi 70 cm mengakibatkan 40 rumah dan 4 hektar lahan persawahan terendam.

Data korban jiwa di lokasi tersebut masih dalam pantauan dan proses pendataan. (www.pikiranrakyat-cirebon.com, 19/01/2021)

Selama ini, seringkali disebut bahwa penyebab utamanya adalah karena curah hujan yang tinggi.

Baca Juga: Bencana di Tasikmalaya, BPBD Inventarisasi Kerusakan yang Ditimbulkan

Memang beberapa hari ke belakang musim hujan yang tak menentu dan berlangsung lama dengan intensitas curah hujan yang tinggi menampilkan menajadi penyebab banjir terutama di beberapa kabupaten di Jawa Barat. Benarkah hanya karena curah hujan yang tinggi?

Ada beberapa faktor lain yang menjadi penyebab banjir. Faktor ini adalah akumulasi mengapa banjir seolah menjadi cerita lama saat musim hujan tiba. Pertama, adanya Pembalakan hutan.

Dampak serius dari pembalakan hutan secara liar selama 25 tahun lebih telah mengakibatkan berkurangnya tutupan vegetasi hingga 60 persen.

Baca Juga: Distribusi 4 Juta Dosis Vaksin Covid-19 Akan dimulai Februari

Menurut pengamat Lingkungan Universitas Indonesia, Tarsoen Waryono mengatakan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) belum sepenuhnya mengikuti kaidah-kaidah dalam eksploitasi hutan yang ramah lingkungan.

Pembukaan kawasan hutan terutama yang berstatus hutan produksi, semuanya dibuka dan upaya penanaman kembali tak sepenuhnya dilakukan. Perusahaan yang ada cenderung berorientasi pada profit ketimbang masalah lingkungan.

Penyebab banjir di pulau jawa karena faktor alih fungsi status kawasan hutan dan okupansi lahan salahan satunya di Jawa Barat.

Baca Juga: Reisa: Tidak mungkin 1,4 juta tenaga kesehatan hanya bertugas merawat pasien Covid-19.

Kedua, berkurangnya daerah resapan air. Adanya alih fungsi lahan baik menjadi pemukiman, area industri ataupun lainnya yang menyebabkan berkurangnya daerah resapan air. Hal ini terjadi di kota-kota besar seperti wilayah Jabodetabek.

Ketiga, pembangunan yang tidak mengikuti kaidah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) terutama di wilayah dataran rendah. Hal inilah yang seringkali menyebabkan hujan kiriman dari wilayah datan tinggi tak mampu diserap hingga menyebabkan banjir.

Keempat, adanya kebijakan yang pro pada para kapitalis. Selama ini pembangunan yang harusnya memperhatikan kelestarian hutan, lahan serta keseimbangan alam dan lingkungan justru terabaikan.

Baca Juga: WHO Pertegas Efektivitas Masker Cegah Covid-19

Namun yang kita saksikan hari ini justru berbeda realitanya. Pembangunan dengan paradigma kapitalistik telah menyebabkan kerusakan alam. Bencana banjir tak serta merta karena adanya fenomena alam namun juga campur tangan manusia.

Kita cukup mudah mengindra bahwa sistem politik demokrasi tidak memberi ruang sama sekali bagi kebenaran ilmu pengetahuan kecuali jika hal tersebut menguntungkan agenda korporasi dan rezim.

Lihat saja laporan dari organisasi lingkungan Jerman, Naturschutzbund pada laman dw.com (2/6/2016) bertajuk Bagaimana Ambisi Iklim Eropa Membunuh Hutan Indonesia menegaskan hanya untuk memenuhi kebutuhan impor Eropa pada tahun 2012 dibutuhkan lahan produksi seluas 7.000 kilometer persegi.

Baca Juga: Sudah 130 Ribu Lebih Nakes Divaksinasi di 92 Kabupaten dan Kota di Seluruh Indonesia

Tak hanya itu, terdapat banyak riset dan kajian tentang bahaya alih fungsi lahan yang terjadi secara masif di beberapa wilayah di Indonesia, namun sebagaiaman umumnya, dominasi korporasi begitu kuat sehingga berujung pada lahirnya perundang-undangan yang melegalkan pelanggaran tersebut.***

Editor: Andra Adyatama


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah