Ideologi Islam dan Pancasila

5 September 2022, 18:10 WIB
Ilustrasi. Ideologi Islam dan Pancasila /Ukki/unesa.ac.id


NEGARA-negara Barat (Eropa–Amerika–Australia) adalah negara liberal (bebas). Ciri-cirinya antara lain, kehidupan masyarakatnya yang sekuler yaitu dipisahkannya antara agama dan negara.

Dengan kata lain, agama sepenuhnya bebas menjadi hak individu masyarakat. Mau beragama apa pun silakan. Tidak beragama juga silakan. Itu hak individu-individu. Atau agama bukan urusan negara tetapi urusan hak perseorangan dari masyarakat.

Di Indonesia lain, agama juga diatur negara. Sehingga ada menteri agama dan departemen agama.

Baca Juga: Peringati Hari Lahir Pancasila, Presiden Jokowi Napak Tilas ke Tempat Pengasingan Soekarno di Ende

Namun demikian, Indonesia “bukan negara agama” tetapi mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa. Menteri agama pun bukan menteri agama Islam tetapi menteri agama semua agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Kong Huchu dan kepercayaan).

Di negara-negara Barat tidak ada menteri agamanya. Karena dianggap agama adalah hak privasi individu. Tugas negara di sana sebatas mengatur ketertiban, keamanan, kesejahteraan dan keadilan masyarakat.

Kendati pun Indonesia bukan negara sekuler atau liberal tetapi bisa jadi pada akhirnya mengarah menuju ke sana. Sebab pengaruh globalisasi negara-negara modern Barat juga tidak bisa dihindari.

Baca Juga: Menteri Risma Kunjungi Balita Korban Kekerasan, Ibunya Akan Diberikan Pekerjaan

Dalam dunia modern tiang penyangga utama adalah materi (materialism), berpikir rasional (logika) dan fasilitas kehidupan serba praktis. Sementara agama sebaliknya, bersifat imateri dan irasional.

Sehingga di sinilah mengapa kehidupan modern kurang religius dan bahkan tidak sedikit yang atheis (tidak mempercayai adanya tuhan).

Sering orang menyebut Indonesia 90% penduduknya beragama Islam. Oleh karena itu kalau memilih pemimpin (perwakilan DPR dan lain-lain) yang mewakili suara umat Islam.

Baca Juga: BBM Resmi Naik! Motor Listrik Kini Mulai Dilirik, Berikut Harga dan Berbagai Mereknya

Tetapi persoalannya, 90% itu hanya logistik angka dan apabila dikupas yang sebenarnya ternyata tidak sederhana. Kalkulasi sederhana saja, misalnya yang 90% itu dibagi menjadi “Islam Santri” (yang menjalankan syareat agama) dan “Islam Abangan atau KTP” (yang tidak menjalankan syareat agama), di antara keduanya lebih banyak yang mana?

Kemudian apabila dipetakan perwakilan di DPR kebijakannya bagaimana? Atau dibuat analogi dengan melihat kondisi riil masyarakat (dusun, desa, kecamatan, kabupaten bahkan propinsi) antara yang menjalankan syareat agama dengan tidak, berapa perbandingannya?

Apabila kemudian ditarik sistem perwakilan (wakil rakyat) yang menyebar di Golkar, PDIP, Demokrat dan Gerindra ideologi keagamaannya tidak sama dengan yang di PPP, PKS, PAN atau PKB.

Baca Juga: JASAD UTUH PECINTA SHOLAWAT Diungkap Habib Luthfi bin Yahya

Kelompok pertama membawakan kepentingan bermacam-macam (nasionalis). Kelompok kedua membawakan kepentingan suara partai Islam.

Kemudian yang menang ternyata kelompok pertama. Hal demikian bukan berarti kemudian tidak beragama atau berpaham komunis, karena menolak kepentingan partai Islam. Tetapi lebih disebabkan kondisi riil di lapangan isinya bangsa Indonesia adalah majemuk, plural, bermacam-macam dari berbagai budaya dan agama.

Oleh karena itulah dalam setiap pemilu sejak Pemilu ke-1 tahun 1955 , Pemilu II, Pemilu III, Pemilu IV dan seterusnya sampai sekarang pemenangnya selalu dari pihak nasionalis.

Baca Juga: SEJARAH INDONESIA, Inilah Cikal Bakal PKI, Awalnya Bukan Berpaham Komunis

Dari sini pula sebetulnya kita bisa belajar dari realitas sejarah dan pengalaman dalam hidup berbangsa sekaligus memprediksi perhelatan hasil pemilu ke depan.

Islam sebagai ideologi dikaitkan Pancasila yang kini menjadi dasar negara Indonesia tidak lepas dari istikharahnya ulama. Disebutkan, ketika tanggal 22 Juni 1945 dirumuskan sila pertama, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” kalimat yang dikenal sebagai rumusan Piagam Jakarta ini menjadi masalah besar bagi wilayah Indonesia bagian timur yang banyak nonmuslimnya.

Melalui wakil-wakilnya di PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia): Dr. Sam Ratulangi dari Sulawesi, Mr. Latuharhary dari Maluku, dan Mr. I Ketoet Poedja dari Bali, maka akan memisahkan diri dari Indonesia apabila sila pertama tidak diubah.

Baca Juga: Strategi Politik PKI yang Jitu Untuk Gaet Suara, Masih Banyak Digunakan Sampai Saat Ini

Presiden Soekarno mengutus rombongan yang dipimpin KH Wahid Hasyim yang menjadi salah seorang Tim Sembilan perumus Pancasila untuk menghadap KH Hasyim Asy`ari (pendiri NU), ulama yang paling berpengaruh di Jawa waktu itu untuk mengkaji apakah Pancasila sudah sesuai dengan syariat Islam atau belum.

Kyai Hasyim tidak langsung menjawab dan minta waktu, “Sek aku tak poso telung dino,” jawab beliau seperti yang dikisahkan KH. Ahmad Muwafiq (Gus Muwafiq) dalam haul KH. Sholeh di Pesantren Sumberrejo Bojonegoro.

Disebutkan KH Hasyim Asy`ari tirakat puasa tiga hari dengan mengkhatamkan Alquran dan membaca Al-Fatihah. Ketika membaca Surah Al-Fatihah ayat, “Iyyaka na`budu wa iyyaka nasta`in,” beliau mengulangnya sampai 350.000 kali.

Baca Juga: ANEH! Abu Nawas Memberi Upah untuk Pencuri Barang Belanjaannya, Ini Alasannya

Sehabis puasa tiga hari, Kyai Hasyim sholat istikharah dua rakaat. Pada rakaat pertama dibaca Surah At-Taubah 41 kali, kemudian rakaat kedua dibaca Surah Al-Kahfi juga 41 kali.

Kyai Hasyim Asyari kemudian istirahat dan tidur seraya sebelumnya membaca ayat 110 dari Surah Al-Kahfi sebanyak 11 kali.

Pagi harinya beliau memanggil KH Wahid Hasyim dan mengatakan Pancasila sudah betul secara syar`i sehingga Piagam Jakarta sila pertama, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” perlu dihapus. Karena Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sama dengan ketauhidan Islam. Demikian juga keempat sila lainnya sudah sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.

Baca Juga: Seorang Dukun Sakti Menantang Habib Lutfi bin Yahya, Ini yang Terjadi!

Pada tahun 1985 ketika pemerintah Orde Baru mewajibkan semua partai politik dan ormas menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi, rombongan ulama yang terdiri KH. Ali Maksum (Yogyakarta), KH. Mujib Ridwan (Surabaya), KH. Imran Hamzah (Surabaya), KH. Fauzi (Bandung) dan KH. Saiful Mujab (Yogyakarta) menghadap seorang kyai sepuh dan dipercaya sebagai waliyullah yaitu KH. Abdul Hamid Utsman dari Kajoran Magelang Jawa Tengah.

Para ulama menyampaikan kepada Kyai Hamid bahwa ada upaya “pemaksaan” pemerintah Orde Baru untuk menerapkan Pancasila sebagai asas tunggal. Jawaban Kyai Hamid justru bersyukur. Artinya dikembalikan kepada kita, sebab Pancasila itu hasil ijtihadnya para ulama dan kyi, termasuk istikharahnya Hadratusy Syaikh KH Hasyim Asy`ari.

KH Hamid Kajoran juga menjelaskan Pancasila secara syariah, akidah dan tasawuf, sehingga KH Ali Maksum sampai menangis. Menurut Kyai Hamid, seseorang bisa menjalankan dua sila saja dari Pancasila secara konsisten dan benar: ketuhanan dan kemanusiaan maka Insya Allah bisa menjadi wali.***

*) Artikel ini ditulis Haryanto, alumni Jurusan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta mengajar di SMP Negeri 1 Paliyan Gunungkidul DIY.

 

PUSTAKA
Marwati Djoened Poeponegoro, Nugroho Noto Sutanto. 2010. Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik. Jakarta: Balai Pustaka.

Islam NUsantara ASwaja. 2018, 6 Oktober. “Gus Muwafiq Pancasila Betul Secara Syar`i Islam Jika Ada Utik-utik Pancasila Maka NU Akan Melawannya.” YouTube. https://youtu.be/iEEDJVj710Q

Penerus Para Nabi. 2021, 23 Desember. “KH. Hamid Jelaskan Pancasila, KH. Ali Maksum Menangis.” YouTube. /https://youtu.be/tTMcbV8WBkl

Editor: Husain Ali

Tags

Terkini

Terpopuler