PORTAL MAJALENGKA - Sejarah perkembangan Cirebon dari masa ke masa selalu menarik untuk dibahas dari berbagai perspektif.
Sejarah Cirebon tidak terlepas dari era kolonial Belanda. Sebab, saat itu pemerintah kolonial menganggap posisi Cirebon sangat penting sebagai salah satu kota pelabuhan.
Seperti diketahui bersama, kota-kota yang berada di pinggir pantai utara Pulau Jawa, seperti Cirebon dalam perkembangannya memiliki kompleksitas persoalan. Salah satunya persoalan kesehatan.
Baca Juga: Sejarah Pandemi Wabah Kolera di Cirebon, Menyebar dari Pelabuhan hingga Ciledug
Pada awal-awal abad ke 19, Cirebon sudah berkembang menjadi wilayah metropolitan. Tapi, pemerintah kolonial saat itu hanya mementingkan sektor ekonomi, sementara persoalan lingkungan dan kesehatan diabaikan.
Hal ini berdampak pada tingkat kesehatan masyarakat yang buruk. Sehingga, muncul masalah-masalah baru, seperti wabah penyakit malaria dan kolera.
Berdasarkan laporan Residen Cirebon GJ Oudemans (17 Januari 1908-6 April 1911) menyebutkan, bahwa wabah kolera di Cirebon pada tahun 1901-1902 sangat parah.
Baca Juga: Erick Thohir dan Ahok Turut Komentari Pasangan Kekasih Foto Prewedding di SPBU yang Ramai di TikTok
Di wilayah Ciledug misalnya, berdasarkan laporan dari surat kabar Het Nieuws van den dah voor Nederlansch Indie Soerabajash Handelsblad edisi 21 September 1906 yang dikutip dari buku Wabah Penyakit dan Penanganannya di Cirebon 1906-1940 (Imas Emalia, 2020), menyebutkan, bahwa terdapat puluhan pasien kolera yang ditemukan setiap hari.
Namun, parahnya pemerintah kolonial saat itu bungkam dan masyarakat apatis karena tidak mau tertular penyakit ini.
"Kasus-kasus kolera terus ditemukan sampai 1910. Namun, kasus yang terjadi pada tahun 1906 tidak banyak yang memberitakan," kutip Imas Emalia dari surat kabar Het Nieuws van den dah voor Nederlansch Indie Soerabajash Handelsblad edisi 21 September 1906.
Baca Juga: Menko Marinves Luhut Binsar Pandjaitan Teken MoU dan Ajak Singapura Kembangkan IKN
Penyakit kolera yang menjangkiti masyarakat Cirebon dan sekitarnya oleh orang-orang saat itu menyebutnya sebagai penyakit "rongga perut yang buruk". Karena penderitanya akan merasakan sakit perut yang terus menerus disusul rasa sakit ketika BAB.
Sejarah mencatat, akibat wabah ini, perkonomian terganggu. Salah seorang pedagang beras Pasar Kanoman Oei Tiong Ham harus merugi sebesar 8.000 gulden. Karena berasnya tidak laku dan pasokan beras dari petani pun tidak ada.
Ia pun terpaksa harus melakukan impor beras dari Saigon (Ho Chi Minh City, sekarang) Vietnam untuk memenuhi kebutuhan beras di Jawa Barat.
Tidak hanya Oei Tiong Ham, pedagang beras lainnya, seperti Oei Nian Kwie dan Tan Ma Teng juga mengalami hal yang sama.
Bahkan, keduanya mengalami kerugian besar saat berasnya harus dilelang dengan harga 5 1/4 gulden. Penyebabnya, pembeli beras berkurang karena banyak masyarakat terjangkit wabah kolera.
"Kualitas berasnya juga menurun karena bau apek dan banyaknya kutu beras. Akhirnya, kedua pedagang ini melelang beras dengan harga yang murah," kutip Imas dari surat kabar De Locomotif edisi 25 Februari 1902.***