Namun, parahnya pemerintah kolonial saat itu bungkam dan masyarakat apatis karena tidak mau tertular penyakit ini.
"Kasus-kasus kolera terus ditemukan sampai 1910. Namun, kasus yang terjadi pada tahun 1906 tidak banyak yang memberitakan," kutip Imas Emalia dari surat kabar Het Nieuws van den dah voor Nederlansch Indie Soerabajash Handelsblad edisi 21 September 1906.
Baca Juga: Menko Marinves Luhut Binsar Pandjaitan Teken MoU dan Ajak Singapura Kembangkan IKN
Penyakit kolera yang menjangkiti masyarakat Cirebon dan sekitarnya oleh orang-orang saat itu menyebutnya sebagai penyakit "rongga perut yang buruk". Karena penderitanya akan merasakan sakit perut yang terus menerus disusul rasa sakit ketika BAB.
Sejarah mencatat, akibat wabah ini, perkonomian terganggu. Salah seorang pedagang beras Pasar Kanoman Oei Tiong Ham harus merugi sebesar 8.000 gulden. Karena berasnya tidak laku dan pasokan beras dari petani pun tidak ada.
Ia pun terpaksa harus melakukan impor beras dari Saigon (Ho Chi Minh City, sekarang) Vietnam untuk memenuhi kebutuhan beras di Jawa Barat.
Tidak hanya Oei Tiong Ham, pedagang beras lainnya, seperti Oei Nian Kwie dan Tan Ma Teng juga mengalami hal yang sama.
Bahkan, keduanya mengalami kerugian besar saat berasnya harus dilelang dengan harga 5 1/4 gulden. Penyebabnya, pembeli beras berkurang karena banyak masyarakat terjangkit wabah kolera.
"Kualitas berasnya juga menurun karena bau apek dan banyaknya kutu beras. Akhirnya, kedua pedagang ini melelang beras dengan harga yang murah," kutip Imas dari surat kabar De Locomotif edisi 25 Februari 1902.***