Pesan Dakwah Islam Sunan Gunung Jati dalam Kesenian Tari Topeng Cirebon

13 Oktober 2022, 06:30 WIB
Ilustrasi Sunan Gunung Jati salah satu Walisongo. /Tangkap layar youtube/YouTube Channel Cerita Sejarah

PORTAL MAJALENGKA - Sunan Gunung Jati merupakan sosok pemimpin yang komplit tidak hanya ahli dibidang agama maupun pemerintahan. Beliau juga seorang panglima perang yang brilian.

Sunan Gunung Jati sangat cerdik meracik seni dan budaya kedalam strategi dakwah dan juga berbagai taktik perang yang jalankannya.

Keberhasilan Sunan Gunung Jati dengan kesenian tari topeng yang dijadikan sebagai strategi perang saat menghadapi Pangeran Welang, menjadi bukti yang masih bisa ditemukan di era sekarang.

Baca Juga: Tes Kejelian Mata, Mencari 4 Perbedaan Pada Gambar Toko Ikan di Film Lupin dan Conan

Tidak hanya sebagai strategi perang yang bersifat sesaat, Sunan Gunung Jati pun mampu menyisipkan ajaran islam dalam kesenian tersebut.

Sunan Gunung Jati dengan jelih dapat membaca kecenderungan masayarakat akan sebuah kesenian, karenanya ia kemudian menyisipkan pesan dakwahnya dalam media tersebut.

Seperti halnya apa yang dilakukan Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati berupaya menjadikan kesenian bukan sekedar tontonan tetapi juga tuntunan kepada masyarakat.

Baca Juga: Nasib PKI yang Membantai 62 Orang Anggota Banser dan Ansor Kecamatan Muncar 18 Oktober 1965

Tari Topeng Cirebon yang digunakan sebagai media penyebaran agama Islam, memasukan simbol dan gambaran watak manusia berdasarkan lima nafsu yang dimilikinya.

Kelima nafsu tersebut kemudian dilekatkan dengan simbol kedok atau topeng yang dikenakan. Dijelaskan masing-masing adalah sebagai berikut:

Kedok Panji melambangkan nafsu mulhimah yaitu nafsu yang keluar dari hati, nafsu paling bersih, paling suci baik jasmani maupun rohani.

Baca Juga: Ini yang Terjadi ketika Presiden Gus Dur Kena 'Semprot' Istri Kepala Protokoler Istana

Kedok Parmindo melambangkan nafsu mutmainah yaitu nafsu yang keluar dari mata.
Kedok Rumyang melambangkan nafsu sawwiyah yaitu nafsu yang keluar dari hidung.

Kedok Patih atau Tumenggung melambangkan nafsu lawwamah yaitu nafsu yang keluar dari mulut.

kedok Klana melambangkan nafsu amarah, nafsu yang keluar dari telinga, nafsu kemarahan yang sifatnya lebih mencintai dunia.

Baca Juga: Strategi Sunan Gunung Jati Sambut Tantangan Pangeran Welang Pemilik Pedang Curug Sewu

Dalam kesenian tari topeng juga digambarkan perwatakan manusia yang dibagi ke dalam empat tingkatan. Diantara keempat tingkatan tersebut adalah sebagai berikut:

Tingkatan pertama adalah ma’rifat digambarkan topeng Tumenggung. Apabila manusia sudah mencapai tingkatan tersebut berarti sudah tergolong insan kamil, walaupun mendapat cobaan ataupun anugerah ia akan tetap tawakal.

Tingkatan kedua adalah hakekat digambarkan dalam topeng Rumyang, manusia yang telah mencapai pada tingkatan tersebut berarti sudah faham pada hak sebagai manusia.

Baca Juga: Joko Tingkir Pendiri Kerajaan Mataram? Inilah Kisah Perjalanan Mataram yang Sekarang Menjadi Yogyakarta

Tingkatan ketiga tarekat digambarkan pada kedok Parmindo, manusia yang mencapai tingkatan tersebut mempunyai pendirian yang tegas, konsekuen dan mengacu pada Sunah dan Hadist, melaksanakan ajaran Islam bersumber dari al-Qur’an dan Hadist,

Tingkatan keempat adalah syari’at, digambarkan dalam kedok Kelana, manusia yang berada pada tingkatan tersebut masih mencintai keduniawian.

Baca Juga: 18 Oktober 1965, 62 Jenazah Banser dan Ansor Kecamatan Muncar Banyuwangi Ditimbun PKI di 3 Lubang Sumur

Sedangkan Topeng Panji tidak termasuk dalam keempat tingkatan tersebut karena Panji sudah menjadi manusia yang sejati atau manusia yang sudah manunggal dengan Tuhan (Kartika, 1999: 50-51).***

Editor: Andra Adyatama

Tags

Terkini

Terpopuler