Sjafruddin Prawiranegara, Presiden ke-2 RI yang Terlupakan

- 31 Agustus 2020, 12:35 WIB
Foto Presiden dan Wakil Presiden
Foto Presiden dan Wakil Presiden /

PORTAL MAJALENGKA - Jika bertanya tentang Presiden, Pada umumnya orang Indonesia hanya mengenal Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarno Putri Susilo Bambang Yudhoyon dan Joko Widodo.

Padahal masih ada dua lagi Presiden Indonesia dan jarang sekali disebut. Yaitu Sjafrudin Prawiranegara dan Mr. Assat.

Sjafruddin Prawiranegara lahir di Banten pada 28 Februari 1911. Beliau adalah pejuang pada masa kemerdekaan Republik Indonesia yang juga pernah menjabat sebagai Presiden/Ketua PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) ketika pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda saat Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948.

Baca Juga: Ini Strategi KPU Gelar Pilkada Serentak di Tengah Pandemi

Di masa kecilnya akrab dengan panggilan "Kuding", dalam tubuh Sjafruddin mengalir darah campuran Banten dan Minang. Buyutnya, Sutan Alam Intan, masih keturunan Raja Pagaruyung di Sumatera Barat, yang dibuang ke Banten karena terlibat Perang Padri.

Menikah dengan putri bangsawan Banten, lahirlah kakeknya yang kemudian memiliki anak bernama R. Arsyad Prawiraatmadja. Itulah ayah Kuding yang, walaupun bekerja sebagai Jaksa, cukup dekat dengan rakyat, dan karenanya dibuang Belanda ke Jawa Timur.

Kuding, yang gemar membaca kisah petualangan sejenis Robinson Crusoe, memiliki cita-cita tinggi, "Ingin menjadi orang besar," katanya. Itulah sebabnya ia masuk Sekolah Tinggi Hukum di Batavia.

Baca Juga: Desa Putridalem Ditunjuk Kemensos Menggelar Program Keserasian Sosial

Soekarno-Hatta  menguasakan kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra.

Ketika Belanda melakukan agresi militernya yang kedua di Indonesia pada tanggal 19 Desember 1949, Soekarno-Hatta sempat mengirimkan telegram yang berbunyi, "Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 jam 6 pagi Belanda telah mulai serangannya atas Ibu-Kota Jogyakarta.

Jika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat menjalankan kewadjibannya lagi, kami menguasakan kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra".

Baca Juga: Ekspor Jawa Barat 16,26% Nasional

Telegram tersebut tidak sampai ke Bukittinggi di karenakan sulitnya sistem komunikasi pada saat itu, namun ternyata pada saat bersamaan ketika mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki Ibukota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia, tanggal 19 Desember sore hari, Sjafruddin Prawiranegara segera mengambil inisiatif yang senada.

Dalam rapat di sebuah rumah dekat Ngarai Sianok, Bukittinggi, 19 Desember 1948, ia mengusulkan pembentukan suatu pemerintah darurat (emergency government).

Gubernur Sumatra Mr TM Hasan menyetujui usul itu "demi menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang berada dalam bahaya, artinya kekosongan kepala pemerintahan, yang menjadi syarat internasional untuk diakui sebagai negara". Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dijuluki "Penyelamat Republik".

Baca Juga: The Gunners Dibayangi Kutukan Community Shield

Dengan mengambil lokasi di suatu tempat di daerah Sumatera Barat, pemerintahan Republik Indonesia masih tetap eksis meskipun para pemimpin Indonesia seperti Soekarno-Hatta telah ditangkap Belanda di Yogyakarta.

Sjafruddin Prawiranegara menjadi Ketua PDRI dan kabinetnya yang terdiri dari beberapa orang menteri. Meskipun istilah yang digunakan waktu itu "ketua", namun kedudukannya sama dengan presiden.

Sadar jika kejadian itu sangat membahayakan pemerintahan Indonesia, Soekarno dan Mohammad Hatta segera melakukan sidang kabinet kilat yang menghasilkan dua keputusan.

Baca Juga: GKR Hemas : Semoga Sultan Sepuh XV Lebih Bijaksana Dalam Mengemban Mandat

Pertama Soekarno dan Hatta tetap tinggal di Yogyakarta meski menghadapi risiko penangkapan, kedua memberi mandat kepada Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Sumatera untuk membentuk pemerintah Darurat. Soekarno dan Hatta mengirim telegram kepada Mr Syafruddin Prawiranegara

Isi telegram tersebut berbunyi: "Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan, bahwa pada hari inggu tanggal 19 Desember 1948 pukul 6 pagi Militer Belanda telah melakukan Agresi ke Ibukota Yogyakarta.

Jika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat menjalankan kewadjibannya lagi, maka kami menguasakan/menunjuk Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia, untuk membentuk Pemerintah Daerah di Sumatera".

Baca Juga: Temu Alumni Diisi dengan Doa Bersama Lawan Covid-19

Namun, operasi rahasia tersebut tidak berjalan dengan mulus karena sudah hadir saksi dari delegasi komite tiga negara (KTN) yaitu Amerika Serikat, Belgia dan Australia, untuk memantau perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Belanda pun mengubah rencananya untuk menawan Soekarno-Hatta, Sjahrir dan Agus Salim ke Berastagi dan Bangka, telegram itu tak pernah sampai ke tangan Sjafruddin Prawiranegara lantaran terbatasnya komunikasi pada saat itu.

Namun, kabar agresi militer Belanda di Yogyakarta segera menyebar cepat melalui siaran radio sampai pula ke telinga Sjafruddin Prawiranegara. Begitu ia mendegar, militer Belanda sudah berhasil menguasai ibukota Yogyakarta.

Baca Juga: Wawasan Kebangsaan, Bekal Pertama yang Diberikan Yasika Majalengka Kepada Mahasiswa Baru

Bersamaan dengan penyerangn terhadap Yogyakarta, pada 19 Desember 1948 pagi, Belanda juga melancarkan aksi militer di Sumatera.

Melihat keadaan sangat genting, Sjafruddin tidak tinggal diam. Pada sore hari, Sjafruddin bersama Panglima Militer seluruh Sumatera Kolonel Hidajat berinisiatif menemui Gubernur Sumatera Mr. Teuku Moehammad Hasan di rumahnya dekat Ngarai Sianok, Bukit Tinggi.

Kepada Teuku Hasan, Sjafruddin menyampaikan pendapat tentang kemungkinan terjadi kekosongan kekuasaan pemerintahan yang akan menimbulkan dampak negatif baik di dalam maupun di luar negeri, dan oleh karena itu perlu segera dibentuk sebuah pemerintahan untuk menyelamatkan negara yang sedang berada dalam keadaan bahaya.

Baca Juga: Bersama GKR Hemas, Koordinator KITA Hadiri Jumenengan Sultan Sepuh ke 15 Keraton Kasepuhan Cirebon

Mulanya, Teuku Hasan menolak gagasan Sjafruddin. Sebagai ahli hukum sarjana, Teuku Hasan mempersoalkan segi yuridis gagasan Sjafruddin.

Apalagi, ternyata Sjafruddin dan para pemimpin Republik di Sumatera, baik sipil maupun militer, tidak ada seorang pun yang memegang mandate dari Presiden dan Wakil Presiden untuk membentuk suatu pemerintahan.

Diskusi pun berjalan alot, yang akhirnya tanggung jawab terhadap kelanjutan perjuangan dan eksisensi Republik, mengatasi pertimbangan yuridis. Ketika senja makin larut, Teuku Hasan mengumumkan hasil perundingannya dengan Sjafruddin dan Hidayat.

Baca Juga: Desa Pilangsari Gelar Syukuran Mapag Sri Dengan Pagelaran Wayang Kulit

“Kami tetapkan bahwa yaitu Sumatera, yaitu di Bukittinggi, pada tanggal 19 Desember 1948, jam 06.00 sore (18.00), telah dibentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia dengan Ketua Mr Sjafruddin Prawirangeara dan Wakil Ketua Mr T.M. Hasan.” (Ismail Hassan “Mengenang 62 Tahun Pemerintah Darurat Republik Indonesia 19 Desember 1948-19 Desember 2010” dalam Lukman Hakim (penyunting), Sjafruddin Prawiranegara Penyelamat Republik. Jakarta: YAPI, hlm 29-30).

Dalam rangka memudahkan tugasnya sebagai Ketua PDRI, Sjafruddin membentuk kabinet yang terdiri dari beberapa menteri diantaranya: Teuku Mohammad Hasan sebagai Wakil Ketua PDRI merangkap sebagai Menteri Dalam Negeri/ PPK/ Agama, Sutan Mohammad Rasjid sebagai Menteri Keamanan/ Sosial/Pembangunan/Pemuda/Perburuhan, Lukman Hakim sebagai Menteri Keuangan/Kehakiman, Ir. Mananti Sitompul sebagai Menteri Pekerjaan Umum/ Keehatan, Ir. Indracaya sebagau Menteri Perhubungan/Kemakmuran, Mr. A.A. Maramis sebagai Menteri Luar Negeri. Sementara Jenderal Sudirman tetap menjadi Panglima Besar Angkatan Perang PDRI.

Di bawah komando Sjafruddin, PDRI terus bekerja melakukan berbagai macam usaha untuk membebaskan Soekarno-Hatta dan juga pemimpin bangsa yang lain.

Baca Juga: Vote Bukit Mercury Sayang Kaak di API Awards 2020

Demi memperlihatkan bahwa pemerintahan RI masih eksis setelah para tokoh sentralnya ditawan, Sjafruddin berpidato melalui radio yang ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia dan pasukan TNI.

Pidato lengkap Sjfaruddin Prawiranegara:

"Belanda menyerang pada hari Minggu, hari yang biasa dipergunakan oleh umat Nasrani untuk memuja Tuhan. Mereka menyerang pada saat tidak alam lagi akan merayakan hari Ntal Isa AS, hari suci dan perdamaian bagi umat Nasrani. Jusru karena itu semuanya, maka lebih-lebih perbuatan Belanda yang megakui dirinya bergama Kristen, menunjukkan lebih jelas dan nyata sifat dan tabiat bangsa Belanda: Liciknya, curangnya dan kejamnya. Karena serangan tiba-tiba itu mereka telah berhasil menawan Presiden, Wakil Pesiden, Perdana Menteri, dan beberapa pembesar lain. Dengan demikian, mereka menduga menghadapi suatu keadaan negara Republik Indonesia yang dapat disamakan dengan Belanda sendiri pada suatu saat negaranya diduduki Jerman dalam Perang Dunia II, ketika rakyatnya kehilangan akal, pemimpinnya putus asa dan negaranya tidak dapat ditolong lagi.”

“Tetapi kita membuktikan bahwa perhitungan Belanda itu sama sekali meleset. Belanda mengira bahwa dengan ditawannya pemimpin-pemimpin kita yang tertinggi, pemimpin-pemimpin lain akan putus ada. Negara RI tidak tergantung kepada Soekarno-Hatta, sekalipun kedua pemimpin itu sangat berharga bagi kita. Pata tumbuh hilang berganti!”

Baca Juga: Bunga 1,9 Juta Nasabah Pegadaian Dibebaskan

“Kepada seluruh Angkatan Perang Negara RI kami serukan: Bertempurlah, gempurlah Belanda di mana saja dan dengan apa saja mereka dapat dibasmi. Jangan letakkan senjata , menghentikan tembak-menembak kalau belum ada perintah dari pemerintah yang kami pimpin. Camkanlah hal ini untuk menghidarkan tipuan-tipuan musuh!".

Pidato tersebut menjadi momok bagi Belanda karena dengan pidato tersebut secara tidak langsung Sjafruddin telah menegaskan kepada dunia internasional bahwa Indonesia masih ada.

Siaran radio itu dapat ditangkap oleh stasiun radio Singapura dan juga disadap oleh radio Belanda di daerah Riau. Sejak saat itu PDRI menjadi musuh nomor satu bagi Belanda. Perjuangan mereka ternyata membuahkan hasil.

Baca Juga: Sebelum ke Manusia, Neuralink Pasang Chip di Otak Babi

Panitia jasa-jasa baik dari PBB berkunjung ke Menumbing Bangka, mereka melihat para tahanan masih dikurung dalam tahanan terbatas 4X6 meter.

Sekembalinya dari Jakarta mereka langsung membuat laporan pendek yang dikirimkan ke markas besar PBB di New York, dalam waktu beberapa jam, laporan itu sudah diketahui dunia internasional. Dunia pun terkejut karena Belanda memberi kesan bahwa resolusi untuk membebaskan para tahanan di Bangka itu telah dilaksanakan.

Dr Van Roijen juru bicara Belanda untuk PBB langsung meminta maaf dan mengatakan bahwa terhadap yang bertanggung jawab akan diambil tindakan.

Baca Juga: Zuckerberg : Kegagalan Facebook Hapus Halaman Milisi “Kesalahan Operasional”

Setelah tidak mampu mengelak dari tekanan internasional, akhirnya Belanda memilih untuk berunding dengan utusan Soekarno-Hatta yang saat itu masih berstatus tawanan.

Akhirnya perundingan menghasilkan perjanjian Roem-Roijen pada 7 Mei 1949 yang berbunyi: Tentara bersenjata Indonesia harus menghentikan kegiatan gerilya, Pemerintah Republik Indonesia turut serta dalam konferensi Meja Bundar, Kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta, Tentara bersenjata Belanda harus menghentikan operasi militer sert melakukan pembebasan semua tahanan politik, Kedaulatan Republik Indonesia akan diserahkan secara utuh tanpa adanya syarat, Menyetujui adanya Republik Indonesia yang bagian dari Negara Indonesia Serikat, Belanda memberika hak, kekuasaan, serta kewajiban kepada pihak Indonesia.

Namun, perundingan Roem- Roijen itu pada akhirnya banyak menuai penolakan dari para tokoh-tokoh politik maupun militer. Kemarahan itu juga muncul dari pimpinan PDRI dan Panglima Besar Jenderal Soedirman yang dalam keadaan sakit memimpin perang gerilya.

Baca Juga: Akademi Persib Putri Gabung Program FIFA

Jenderal Soedirman marah dan tersinggung dengan penggunaan istilah “pengikut Republik bersenjata” dalam pernyataan Roem-Rojien. Bagi Jenderal Soedirman, penggunaan istilah itu seolah-olah menganggap Angkatan Bersenjata RI hanya sebagai gerombolan bersenjata.

Pada 13 Juli 1949 dalam sebuah rapat kabinet Sjafrudin mengembalikan mandat kepada Soekarno dan beberapa bulan berselang Belanda akhirnya mengakui kedaulatan RI secara penuh.

Dalam rapat yang dihadiri Presiden Soekarno, Wapres Mohammad Hatta, dan para anggota kabinet; Sjafruddin yang berbicara atas nama PDRI mengatakan bahwa radiogram yang dikirim dari Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948 untuk memberikan kekuasaan kepadanya, tidak pernah diterima di Bukittinggi.

Baca Juga: Per 26 Agustus, Covid Seluruh Dunia 24 Juta Kasus

Artinya, pembentukan PDRI sungguh-sungguh prakarsa murni Sjafruddin dan para pemimpin Republik di Sumatera.

Meski, Sjafruddin berperan besar dalam PDRI itu, ia enggan disebut presiden.

Dalam buku berjudul "Presiden Prawiranegara: Kisah 207 Hari Syafruddin Prawiranegara Memimpin Indonesia (2011: 345-346)" ditulis Akmal Nasery Basral, ada percakapan antara Kamil Koto dengan Sjafruddin yang menolak disebut sebagai presiden.

Akmal menuliskan percakapan antara Kamil Koto dengan Sjafruddin:

Kamil memberanikan diri untuk bertanya, “Jadi, Pak Syaf adalah presiden yang menggantikan Bung Karno?”

Baca Juga: Puskesmas yang Terdepan Tangani Covid-19

“Tidak persis begitu. Saya lebih suka menyebutnya sebagai Ketua PDRI, bukan Presiden PDRI,” jawab Syafruddin.

Kamil rupanya belum puas. Pemuda asli Minangkabau ini bertanya lagi, “Jadi, di bawah Pak Syaf sekarang ini ada banyak menteri dan panglima perang?”

Syafruddin mengamini sebelum balik bertanya, “Ya, betul sekali. Apa maksudmu dengan menanyakan ini, Kamil?”

“Maafkan saya yang bodoh ini, Pak Syaf,” ucap Kamil buru-buru. “Kalau kejadiannya seperti yang Bapak jelaskan itu, maka menurut saya yang tidak mengerti politik ini, Bapak adalah Presiden Syafruddin Prawiranegara.”

Baca Juga: Majelis Taklim Al Imam Santuni 300 Pelajar Yatim

Untuk sesaat, Syafruddin tampak tercenung, barangkali mencari-cari balasan yang paling tepat untuk menjawab rasa penasaran Kamil. Namun, akhirnya ia mengelak dan mengalihkan topik pembicaraan.

Kamil tidak menyerah. Sekali lagi, ia mendesak, “ Jadi betul kesimpulan saya, Pak Presiden?”

Dengan mata terpejam, bibir Syafruddin berucap tegas, “Dalam politik itu sama sekali tidak mudah sekadar untuk mengatakan betul atau salah, Kamil. Kalau memang niatmu sangat kuat untuk membantu perjuangan PDRI ini, semoga suatu saat nanti kau akan temukan jawaban atas pertanyaanmu sendiri.”

Kali ini, Kamil terpaksa memuaskan dirinya dengan jawaban itu. Ia mendekat untuk menyalami sekaligus mencium tangan Syafruddin Prawiranegara sembari berpamitan. “Terima kasih, Presiden Prawiranegara,” gumamnya lirih.

Baca Juga: Poliandri, Fenomena Baru ASN di Indonesia

“Sama-sama, Kamil,” timpal Syafruddin sambil merangkul erat. “Dan jangan pernah lupa satu hal. Saya tidak pernah menjadi presiden. Saya hanya Ketua PDRI.”

“Bagi saya, Pak Syaf adalah presiden saya, presiden dunia-akherat,” pungkas Kamil sebelum pergi.

Jejak jasa dan sumbangsih Sjafruddin dalam mengawal tegaknya NKRI seakan terkikis nyaris habis, justru setelah Indonesia benar-benar menjadi negara berdaulat. Citranya pun merosot drastis, dari penyelamat negara menjadi lekat dengan cap sebagai pemberontak.

Mr Sjafruddin Prawiranegara meninggal dunia di Jakarta tanggal 15 Februari 1989.

Baca Juga: Deklarator KAMI, Sebut Megawati Cemas Karena Puan Maharani Kalah Elektabilitas

Seakan lupa, pemerintah Republik Indonesia baru memberikan gelar pahlawan nasional pada 7 November 2011.

Sjafruddin menyerahkan mandatnya kemudian kepada Presiden Soekarno pada tanggal 13 Juli 1949 di Yogyakarta.

Dengan demikian, berakhirlah riwayat PDRI yang selama kurang lebih delapan bulan melanjutkan eksistensi Republik Indonesia sebagai negara bangsa yang sedang mempertaankan kemerdekaan dari agresor Belanda yang ingin kembali berkuasa.

Setelah menyerahkan mandatnya kembali kepada presiden Soekarno, Sjafruddin Prawiranegara tetap terlibat dalam pemerintahan dengan menjadi menteri keuangan.

Baca Juga: Polres Majalengka Berlakukan Tes Psikologi Bagi yang Akan Membuat dan Memperpanjang SIM.

Pada Maret 1950, selaku Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta, ia melaksanakan pengguntingan uang dari nilai Rp 5 ke atas, sehingga nilainya tinggal separuh. Kebijaksanaan moneter yang banyak dikritik itu dikenal dengan julukan Gunting Syafruddin.

Pada peristiwa PRRI, akibat ketidakpuasan terhadap Pemerintah Pusat karena ketimpangan- ketimpangan sosial yang terjadi dan juga pengaruh Partai Komunis Indonesia yang semakin menguat, pada awal tahun 1958, Syafruddin Prawiranegara dan beberapa tokoh lainnya mendirikan PRRI yang berbasis di Sumatera Tengah dan ia di tunjuk sebagai Ketuanya.

Pada akhir tahun 1967,  setelah bertahun-tahun berkarir di dunia politik, SJafrudin Prawiranegara akhirnya memilih lapangan dakwah sebagai kesibukan masa tuanya. Dan, ternyata, tidak mudah.

 

Berkali-kali bekas tokoh Partai Masyumi ini dilarang naik mimbar. Juni 1985, ia diperiksa lagi sehubungan dengan isi khotbahnya pada hari raya Idul Fitri 1404 H di Masjid Al-A'raf, Tanjung Priok, Jakarta. "Saya ingin mati di dalam Islam.

Dan ingin menyadarkan, bahwa kita tidak perlu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada Allah," ujar ketua Korp Mubalig Indonesia (KMI) itu tentang aktivitasnya itu.

Sjafruddin Prawiranegara meninggal pada 15 Februari 1989 di makamkan di Tanah Kusir Jakarta Selatan.***

 

 

Editor: Andra Adyatama


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x