PORTAL MAJALENGKA - Penelusuran Jalan Raya Pos atau lebih dikenal Jalan Anyer Panarukan kali ini membahas sekitar Probolinggo, Jawa Timur.
Jalan poros yang dibangun Gubernur Jenderal Hindia Belanda Daendels itu memanjang dari ujung Barat hingga Timur Pulau Jawa.
Tiba di Probolinggo, 50 kilometer dari Pasuruan ke arah timur. Setidaknya, ini bisa menjadi gambaran bagaimana sejarah membentuk kawasan ini.
Baca Juga: Menuju Panarukan, Kota Terakhir Rute Jalan Raya Pos Warisan Daendels
Yuli Anisah, salah satu pegiat sejarah dari Dinas Pariwisata Probolinggo menyebut, “Tiap tahunnya, kami selalu adakan pawai napak tilas, ke bangunan bersejarah, termasuk Jalan Raya Pos,” katanya dikutip dalam Buku Napak Tilas Jalan Daendels karya Angga Indrawan.
Probolinggo terasa seolah kurang pamor di sederet kota-kota penting dalam simpul ekonomi Belanda.
Dalam catatan sejarah, sebelum dikuasai Belanda, kota ini ada di bawah kekuasaan Pakubuwono II dari Mataram. Penyerahan wilayah kepada VOC baru dilakukan pada 1743.
Baca Juga: Cerita Daendels di Surabaya
Tak ada catatan gemilang pada saat itu. Salah satu alasannya, lantaran hingga abad ke-19, infrastruktur di daerah ujung Jawa Timur belum berbenah. Aktivitas Probolinggo masih didominasi dalam ekspedisi perairan melalui Sungai Banger.
Setelah berkeliling pusat kota, ada satu hal yang bisa disimpulkan sementara. Probolinggo tak ubahnya seperti Pekalongan. Jalan Raya Pos yang kini menjadi jalur nasional, mengubah wajah Probolinggo menjadi pusat pemerintahan sejak kota ini ditinggalkan VOC.
Posisi gedung pemerintahan, satu per satu berdiri pada pertengahan abad ke-19 lantaran keberadaan jalan raya ini.
Baca Juga: Kisah Nyata Habib Luthfi bin Yahya Melarang Gus Dullah Pergi Umroh?
Perkembangan kota terjadi di Jalan Suroyo yang dulu disebut dengan Heerenstraat. Di jalur ini, terlihat Heerenstraat menjadi titik awal sekaligus sumbu utama dari per
kembangan kota dengan didirikannya beberapa bangunan semisal gereja, kantor pemerintahan, kantor pos, yang kemudian menghubungkan dengan kantor bupati di alun-alun kota.
Dari jalur ini, kawasan pemerintahan terbangun dalam skema segi empat, seperti sebelumnya, kawasan serupa di kompleks pemerintahan Jetayu yang didirikan di Pekalongan.
Baca Juga: Jembatan Merah Jadi Saksi Pertempuran Arek-arek Suroboyo
Yang membedakannya, kompleks pemerintahan ini kembali terhubung dengan pusat perniagaan Probolinggo dekat pelabuhan dan tangsi militer dan Benteng Belanda.
Jalur birokrasi ini, kembali terhubung dengan Jalan Raya Pos yang kini menjadi jalur nasional menuju kota-kota selanjutnya di timur.
Satu hal menarik tentang Benteng Belanda di Probolinggo. Bangunan itu masih dapat terlihat, lokasinya tepat berada di belakang Stasiun Probolinggo.
Baca Juga: MENGENAL Jenis-Jenis Ikan Platy, Ikan Hias Cantik dengan Harga Ekonomis
Bangunan itu masih menunjukkan sisa kemegahan, walau dengan kondisi yang memprihatinkan.
Bangunan itu berfondasi batu kali dengan tumpukan bata merah besar sebagai dindingnya.
Tak jauh dari sana, tanda kehidupan muncul di daerah Paiton, yang secara geografis masih dari bagian Probolinggo. Ada cahaya nan terang yang lahir dari aktivitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Desa Binor.
Baca Juga: Kisah Abu Nawas Sembuhkan Penyakit Raja Harun Al-Rasyid, Disuruhnya Mencari Telur Unta
PLTU Paiton merupakan PLTU berkapasitas terbesar di Indonesia, yakni 815 MW. Aktivitas PLTU yang mulai dioperasikan pada Maret 2012, disebut-sebut turut menyumbang peran besar dalam kelistrikan Jawa-Bali.
Hanya saja, menurut salah satu kenalan, Indrajaya, pembangunan PLTU ini membuat jalan raya bergeser beberapa puluh meter dari lokasi semula.
Jalan Raya Pos membentang terus ke arah timur.
Deburan ombak terdengar jelas di daerah Pasir Putih yang masuk dalam wilayah Besuki. Bebunyian alam itu menandakan jalur ini kembali memantai mendekati Panarukan.***