Mengenal Abdul Adjib, Si Baridin Maestro Tarling Cirebon Pencipta Lagu 'Warung Pojok' yang Fenomenal

27 Juli 2021, 21:13 WIB
Almarhum Abdul Adjib, Si Baridin Maestro Tarling pencipta lagu 'Warung Pojok' yang fenomenal. /Facebook Tarling Baridin

 

PORTAL MAJALENGKA -- Seni Tarling bagi masyarakat di kawasan Pantura Cirebon sangat populer. Bahkan seni musik gitar dengan suling tersebut merupakan identitas bagi masyarakat pesisir utara Cirebon.

Salah satu seniman Tarling yang sangat populer hingga saat ini, yaitu H Abdul Adjib. Ia merupakan maestro seni Tarling asal Desa Buyut Kecamatan Gunungjati, Kabupaten Cirebon.

Tiga hal yang sangat menonjol pada Abdul Adjib, yakni inovator, inspirator, dan pelopor. Ketiga hal itu merefleksikan bakatnya yang luar biasa.

Ketika seniman Tarling lainnya belum berpikir menciptakan lagu-lagu Cirebonan modern, Abdul Adjib melakukannya di tahun 1964.

Baca Juga: Sejarah Nasi Jamblang yang Melegenda, Berawal dari Sedekah untuk Para Pekerja hingga Jadi Ikon Kuliner Cirebon

Lagu berjudul 'Penganten Baru' pertama kali dinyanyikannya pada pertunjukan Tarling Nada Budaya pimpinan Sunarto Martaatmadja. Saat itu usia Adjib baru 22 tahun.

Saat itu, lagu Cirebonan terbiasa menggunakan nada pentatonis yang selaras dengan bunyi gamelan.

Namun Adjib menciptakan 'Penganten Baru' menggunakan nada diatonis yang selaras dengan bunyi instrumen musik modern.

Adjib menyebutnya Kiser (irama) Gancang (cepat). Karena menggunakan tempo lebih cepat dibandingkan dengan lagu-lagu Cirebonan klasik di masa itu.

Baca Juga: 5 Kuliner Khas Majalengka yang Tergolong Unik Termasuk Ketel, Berani Coba?

Sunarto Martaatmadja, seniman Tarling yang lebih senior, memuji pesona lagu 'Penganten Baru' yang sejak itu seolah-olah menjadi lagu wajib di setiap acara hajatan pernikahan masyarakat Cirebon hingga Indramayu.

Sunarto juga mengaku, 'Penganten Baru' menginspirasinya untuk juga menciptakan lagu-lagu Cirebonan bernada diatonis.

Dalam tempo singkat, seniman-seniman Tarling lainnya terinspirasi untuk juga menciptakan lagu-lagu Cirebonan modern.

Bahkan sejak itu pula, terjadi pengklasifikasian pada lagu-lagu Cirebonan. Yakni, yang klasik dan modern. Lagu klasik menggunakan nada pentatonis, lagu modern menggunakan diatonis.

Baca Juga: Bak Negeri Dongeng, Majalengka Punya Mata Air Peninggalan Belanda Sejak 1930

Sejak tahun 1964 pula, Abdul Adjib produktif menciptakan lagu-lagu Cirebonan modern. Banyak di antaranya sangat digemari masyarakat, namun yang paling dianggap fenomenal adalah lagu berjudul 'Warung Pojok'.

Lagu itu bahkan telah dianggap salah satu lagu nasional. Stasiun Cirebon menggunakan penggalan 'Warung Pojok' sebagai nada penanda kedatangan maupun keberangkatan kereta api.

Begitu mendengar nada tersebut, penumpang kereta langsung paham sedang berada di Stasiun Cirebon.

Lagu-lagu ciptaan Abdul Adjib sangat khas. Iramanya cenderung riang, liriknya mudah dicerna namun puitik, kerap jenaka, dan bercerita tentang kehidupan masyarakat sehari-hari.

Baca Juga: Mata Air Cipantan Peninggalan Belanda di Majalengka Hadiah untuk Ratu Wihelmina

Lagu-lagu seperti Penganten Baru, Sopir Inden, Bakul Jamu, Kelingan, Kondangan, Ngrujaki, Pinter Kodek, Salah Mejet, Nonton Tarling, dan Desa Buyut kini abadi dalam ingatan masyarakat terutama di wilayah Pantura.

Hingga meninggal dunia di tahun 2011, Adjib telah menciptakan sekitar 300 judul lagu Cirebonan modern. Jumlah itu merupakan yang terbanyak dibandingkan dengan jumlah lagu ciptaan seniman Tarling lainnya.

Dengan lagu-lagunya, Abdul Adjib juga mempelopori penciptaan lirik lagu Cirebonan yang terencana.

Sebelumnya, para seniman menciptakan lirik lagu secara improvisasi berdasarkan pengalaman maupun keadaan di sekitar saat lagu hendak dinyanyikan.

Baca Juga: Bukan Eropa, Pemandangan Langka ini Ada di Kawasan Kebun Raya Kuningan

Metoda yang dipergunakan Abdul Adjib memungkinkan lirik lagu dapat dihafal penyanyi. Lirik pun tidak berubah-ubah.

Bahkan inovasi dan kepeloporan Abdul Adjib mendorong lagu-lagu Cirebonan kemudian diaransir menjadi lagu-lagu Tarling Dangdut maupun bersandingan dengan lagu-lagu modern lainnya.

Namun hingga akhir hayatnya, Abdul Adjib menolak keras predikat Tarling Dangdut maupun Organ (elekton) Tarling. Dalam penilaiannya, Tarling Dangdut maupun Tarling Organ justru mengaburkan identitas dan karakteristik Tarling.

Prestasi Abdul Adjib lainnya, sukses memasukkan unsur drama dan lawak ke dalam Seni Tarling.

Baca Juga: Jalur ke Lokasi Kebun Raya Kuningan yang Mirip Suasana Eropa, Tiketnya Hanya Rp4000

Semula Tarling merupakan seni musik. Setelah Sunarto Martaatmadja dan Abdul Adjib memasukkan unsur drama dan lawak, maka Tarling menjelma teater.

Di dalamnya terdapat musik, lagu, drama, dan lawakan (di Cirebon disebut bodoran). Karena itu Tarling juga kerap disebut drama Tarling, untuk membedakannya dengan Tarling klasik.

Upaya pembaruan yang dilakukan Adjib, dengan memasukkan unsur drama, juga menginspirasi kelompok-kelompok Seni Tarling lainnya untuk melakukan hal serupa.

Namun dari semua seniman Tarling yang bertebaran di Cirebon hingga Indramayu, Abdul Adjib merupakan yang paling menonjol.

Baca Juga: Ada Surga Tersembunyi di Curug Parakan Kabupaten Kuningan, Air Terjun di Tengah Sungai

Selain produktif, drama-drama Tarling ciptaan Abdul Adjib paling banyak dikenal dan dikenang masyarakat.

Hingga kini masyarakat masih mengingat dengan baik drama Baridin, Saeda-Saeni, Martabakrun, maupun Ki Mardiah.

Kepeloporan lainnya, Abdul Adjib dengan Grup Tarling pimpinannya, Putra Sangkala, memasuki era industri rekaman.

Sejak itu pemangku-pemangku hajat yang berkantong cekak dapat menyajikan drama terkenal Baridin hanya berbekal speaker dan cassette transistor. Drama Tarling yang direkam, pun menandai era baru dokumentasi Seni Tarling.

Baca Juga: Keajaiban Dunia Ada di Anugerah Alam Terasering Panyaweuyan Majalengka

Hingga kini, telah puluhan rekaman Drama Tarling karya Abdul Adjib. Di era 1980-an, hajatan-hajatan masyarakat diramaikan dengan diputarnya rekaman-rekaman tersebut.

Dari sekian banyak drama ciptaan Abdul Adjib, Baridin dianggap yang paling sukses dan fenomenal.

Di Youtube, sejumlah kanal mengunggah drama Tarling Baridin karya Abdul Adjib. Hingga 27 Juli 2021, diunggah kanal Regi Jens di Januari 2014, telah ditonton sebanyak 340 ribu kali.

Kemudian unggahan Mohamad Taufik di September 2013 sebanyak 305 ribu kali ditonton. Unggahan Mulya Yanza di Januari 2014 hingga saat ini sudah ditonton 2,9 juta kali. Belum termasuk hasil unggahan pihak lain yang lumayan banyak jumlahnya.

Baca Juga: Bangga! 5 Kuliner Tegal Enak dan Unik ini Populer hingga Mancanegara, Ada Sambel Teplak dan Es Lontrong

Abdul Adjib dilahirkan di Desa Buyut Kecamatan Gunungjati, Kabupaten Cirebon, 9 Januari 1942. Maestro Seni Tarling itu meninggal dunia pada Sabtu, 26 Februari 2011 pukul 13.40 WIB, dalam usia 69 tahun, di Rumah Sakit Paru Sidawangi Kabupaten Cirebon.

Jenazahnya dimakamkan di pemakaman keluarga di desa kelahirannya, Desa Buyut.

Sebelum mendapat perawatan khusus di Rumah Sakit Paru, Abdul Adjib sempat dirawat di RSUD Gunungjati Kota Cirebon sebulan lebih. Kepergiannya meninggalkan 10 orang anak yang berasal dari dua istri, Sumarni dan Uun Kurniasih.

Bakat kesenian luar biasa Abdul Adjib sudah mulai tampak sejak ia siswa SMP, pertengahan 1950.

Baca Juga: Chef Arnold Berbagi Tips Bisnis Kuliner Bertahan di Masa Pandemi

Saat usianya baru belasan tahun, Abdul Adjib sudah menjadi salah seorang pemain di Grup Sandiwara Gado-gado Remaja. Saat itu pula minat Adjib pada Seni Tarling dimulai.

Ia sudah belajar mencoba-coba memetik gitar dan menyanyikan lagu-lagu Tarling. Ketika itu Tarling masih berupa seni musik.

Askadi Sastrasuganda, kakak Abdul Adjib, melihat bakat luar biasa pada adiknya itu. Ia membantu mengarahkan seni musik Adjib.

Dalam Festival Tarling se Karesidenan Cirebon tahun 1968, Abdul Adjib menjadi Juara Pertama. Remaja berusia 26 tahun itu mampu mengalahkan seniman-seniman Tarling yang sudah sangat populer ketika itu, yakni Jayana dan Sunarto Martaatmadja.

Baca Juga: Selama PPKM Darurat Objek Wisata di Majalengka Ditutup

Di tengah kompetisi itu pula, Abdul Adjib terinspirasi untuk memodifikasi Tarling, dari seni musik menjadi seni teater.

Adjib memulai eksperimennya dengan memasukkan unsur drama dan lawak ke dalam Seni Tarling. Hasilnya tidak mengecewakan.

Putra Sangkala makin populer. Undangan mentas pun makin meriah. Putra Sangkala diundang tampil dalam acara-acara sejak hajatan perkawinan, sunatan, sedekah bumi, syukuran panen, syukuran rumah baru, hingga pengangkatan kepala desa.

Tak pelak, Abdul Adjib turut andil dalam pembelokan sejarah Seni Tarling, dari seni musik ke seni teater.

Baca Juga: Indramayu Segera Punya Asrama Haji Terbesar di Indonesia, Sekaligus Destinasi Wisata Religi

Di tangan Adjib, Tarling menjadi lebih variatif, familier, tidak sekadar menghibur tetapi juga memesona dengan sajian unsur drama, lawak, yang dicampur dengan seni musik.

Bahkan Adjib mampu menyisipkan pesan-pesan beraroma pendidikan ke dalam pertunjukan-pertunjukannya.

Popularitas Putra Sangkala dan kepiawaian menciptakan drama yang sangat diminati masyarakat menyebabkan jadwal pentas tiada habisnya sepanjang tahun.

Di masa jayanya sekitar tahun 1970, Putra Sangkala mampu naik pentas sebanyak 500 kali dalam setahun. Itu ditempuh dengan cara, sebagian anggota tampil lebih dahulu di satu acara lalu buru-buru menuju tempat acara lainnya. Sisanya, menyusul kemudian.

Baca Juga: Sandiaga Uno Sosialisasi Desa Wisata Cibuntu Kuningan, Hendak Jadikan Tujuan Pariwisata Berkelas Dunia

Saking padatnya jadwal manggung Putra Sangkala, permintaan pentas tidak bisa dilakukan dadakan, namun harus pesan dan antre sekitar tujuh sampai delapan bulan sebelumnya.

Wilayah pentas Putra Sangkala pun sangat lebar. Pesanan manggung berdatangan dari Wilayah Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Indramayu, Kuningan, Majalengka, Sumedang, Banten, hingga Pekalongan Jawa Tengah.

Abdul Adjib juga diakui oleh banyak pihak memiliki keistimewaan dalam suara, improvisasi panggung, dan membuat wangsalan atau semacam pantun yang diiringi musik tarling.

Abdul Adjib menghabiskan masa tuanya di Jalan Sukasari Kota Cirebon.

Baca Juga: Permudah Wisatawan, Garut Buka Akses Baru Jalan Menuju Wisata Candi Cangkuang

Di masa itu pula, ketika kejayaan Seni Tarling mulai pupus dilindas zaman, Abdul Adjib banyak memberikan ceramah keagamaan di berbagai Majelis Taklim. Popularitas, kepiawaian memainkan karakter, ditambah gayanya yang kocak membuat ceramah-ceramahnya selalu dibanjiri umat.

Abdul Adjib pernah memendam keinginan untuk membuat agar Seni Tarling disejajarkan dengan kesenian-kesenian daerah lainnya, seperti Ketoprak, Lenong, dan Ludruk.

Sayangnya niat itu terganjal persoalan bahasa. Untuk masyarakat di luar sub-etnis Cirebon, risikonya Seni Tarling harus menggunakan Bahasa Indonesia.

Abdul Adjib berpandangan, penggunaan Bahasa Indonesia dapat menyebabkan Seni Tarling tercerabut dari akar tradisi masyarakat yang telah membesarkannya. Adjib juga khawatir Tarling bisa kehilangan identitas.

Baca Juga: Pantai Versus Gunung, Tujuan Wisata Tentukan Tipe Kepribadian? Begini Kata Psikologi

Ketika H Abdul Adjib meninggal dunia, Kota Cirebon diguyur hujan. Langit seperti ikut berduka karena kehilangan Maestro Tarling paling fenomenal tersebut.***

Editor: Husain Ali

Sumber: Berbagai Sumber

Tags

Terkini

Terpopuler