COCOK di Hari Ibu, Inilah Kumpulan Puisi Tentang Ibu Karya Penyair Ternama Indonesia

- 20 Desember 2021, 06:00 WIB
COCOK di Hari Ibu, Inilah Kumpulan Puisi Tentang Ibu Karya Penyair Ternama Indonesia. Peringatan Hari Ibu Nasional 22 Desember 2021!
COCOK di Hari Ibu, Inilah Kumpulan Puisi Tentang Ibu Karya Penyair Ternama Indonesia. Peringatan Hari Ibu Nasional 22 Desember 2021! /Twibbonize.com/

PORTAL MAJALENGKA - Tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu di Indonesia.

Tahun ini peringatan Hari Ibu mengusung tema Perempuan Berdaya Indonesia Tangguh.

Sebagaimana lazimnya, di hari ibu berbagai ungkapan terima kasih, kasih sayang, kerinduan, juga pujian dilayangkan ke para ibu.

Baca Juga: Chord Gitar Lagu Satru oleh Happy Asmara feat Deny Caknan yang Lagi Trending di YouTube

Di lapangan kesusastraan tanah air, ungkapan serupa pernah ditulis para penyair ternama, dalam bentuk puisi.

Dari berbagai sumber, setidaknya enam puisi bertema ibu berikut dapat disebut merupakan yang terbaik versi Portal Majalengka.

Pada peringatan Hari Ibu selain lagu-lagu bertema ibu juga biasa diseling acara baca puisi bertema serupa.

Berikut keenam puisi bertema ibu karya enam penyair ternama Indonesia :

Baca Juga: INDONESIA Pastikan Tiket Semifinal AFF Suzuki Cup 2020 setelah Bantai Malaysia 4-1

IBU
Karya Chairil Anwar

Pernah aku ditegur
Katanya untuk kebaikan
Pernah aku dimarah
Katanya membaiki kelemahan
Pernah aku diminta membantu
Katanya supaya aku pandai

Ibu...
Pernah aku merajuk
Katanya aku manja
Pernah aku melawan
Katanya aku degil
Pernah aku menangis
Katanya aku lemah

Ibu...
Setiap kali aku tersilap
Dia hukum aku dengan nasihat
Setiap kali aku kecewa
Dia bangun di malam sepi lalu bermunajat
Setiap kali aku dalam kesakitan
Dia ubati dengan penawar dan semangat
dan bila aku mencapai kejayaan
Dia kata bersyukurlah pada Tuhan
Namun...
Tidak pernah aku lihat air mata dukamu
Mengalir di pipimu
Begitu kuatnya dirimu...

Ibu...
Aku sayang padamu...
Tuhanku....
Aku bermohon pada-Mu
Sejahterahkanlah dia
Selamanya...

 Baca Juga: Irfan Jaya Pahlawan Kemenangan Timnas Indonesia atas Malaysia dengan Skor 1-4, Berikut Profil Lengkapnya

IBU
Karya Mustofa Bisri

Kaulah gua teduh
tempatku bertapa bersamamu
sekian lama

Kaulah kawah
dari mana aku meluncur dengan perkasa

Kaulah bumi
yang tergelar lembut bagiku
melepas lelah dan nestapa
gunung yang menjaga mimpiku
siang dan malam
mata air yang tak brenti mengalir
membasahi dahagaku
telaga tempatku bermain
berenang dan menyelam

Kaulah, ibu, laut dan langit
yang menjaga lurus horisonku

Kaulah, ibu, mentari dan rembulan
yang mengawal perjalananku
mencari jejak sorga
di telapak kakimu

(Tuhan, aku bersaksi ibuku telah melaksanakan amanat-Mu, menyampaikan kasih sayang-Mu
maka kasihilah ibuku seperti Kau mengasihi kekasih-kekasih-Mu Amin)

Baca Juga: Bruno Cantanhede Bisa Gagal Gabung Bersama Persib Bandung, Ini Alasannya

IBU
Karya D Zawawi Imron

Kalau saya merantau kemudian tiba demam isu kemarau
Sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting

Hanya mata air airmatamu, ibu, yang tetap lancar mengalir

Bila saya merantau
Sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanmu
Di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
Lantaran hutang padamu tak kuasa kubayar

Ibu yakni gua pertapaanku
Dan ibulah yang meletakkan saya di sini
Saat bunga kembang menyemerbak basi sayang
Ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
Aku mengangguk meskipun kurang mengerti

Bila kasihmu mirip samudera
Sempit lautan teduh tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
Tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
Lokan-lokan, mutiara dan kembang bahari semua bagiku
Kalau saya ikut ujian kemudian ditanya wacana pahlawan
Namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu
Lantaran saya tahu engkau ibu dan saya anakmu

Bila saya berlayar kemudian tiba angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal

Ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala
Sesekali tiba padaku
Menyuruhku menulis langit biru
Dengan sajakku

Baca Juga: Ini di Antara Prestasi Bruno Cantanhede sebelum Bergabung dengan Persib Bandung

SAJAK IBUNDA
Karya WS Rendra

Mengenangkan ibu
adalah mengenangkan buah-buahan.
Istri adalah makanan utama.
Pacar adalah lauk-pauk.

Dan Ibu
adalah pelengkap sempurna
kenduri besar kehidupan.
Wajahnya adalah langit senja kala.
Keagungan hari yang telah merampungkan tugasnya.
Suaranya menjadi gema
dari bisikan hati nuraniku.

Mengingat ibu
aku melihat janji baik kehidupan.
Mendengar suara ibu,
aku percaya akan kebaikan manusia.
Melihat foto ibu,
aku mewarisi naluri kejadian alam semesta.

Berbicara dengan kamu, saudara-saudaraku,
aku pun ingat kamu juga punya ibu.
Aku jabat tanganmu,
aku peluk kamu di dalam persahabatan.
Kita tidak ingin saling menyakitkan hati,
agar kita tidak saling menghina ibu kita masing-masing
yang selalu, bagai bumi, air dan langit,
membela kita dengan kewajaran.

Baca Juga: Terbaru di Indonesia, Terlambat Bayar Pajak STNK akan Mendapat Tagihan ke Rumah

Maling juga punya ibu. Pembunuh punya ibu.
Demikian pula koruptor, tiran, fasis,
wartawan amplop, anggota parlemen yang dibeli,
mereka pun punya ibu.
Macam manakah ibu mereka?
Apakah ibu mereka bukan merpati di langit jiwa?
Apakah ibu mereka bukan pintu kepada alam?
Apakah sang anak akan berkata kepada ibunya:

“Ibu aku telah menjadi antek modal asing;
yang memproduksi barang-barang yang tidak mengatasi
kemelaratan rakyat,
lalu aku membeli gunung negara dengan harga murah,
sementara orang desa yang tanpa tanah
jumlahnya melimpah.
Kini aku kaya.

Dan lalu, ibu, untukmu aku beli juga gunung
bakal kuburanmu nanti.”
Tidak. Ini bukan kalimat anak kepada ibunya.
Tetapi lalu bagaimana sang anak
akan menerangkan kepada ibunya
tentang kedudukannya sebagai
tiran, koruptor, hama hutan,
dan tikus sawah?

Apakah sang tiran akan menyebut dirinya
sebagai pemimpin revolusi?
Koruptor dan antek modal asing akan
menamakan dirinya sebagai pahlawan pembangunan?
Dan hama hutan serta tikus sawah akan
menganggap dirinya sebagai petani teladan?
Tetapi lalu bagaimana sinar pandang mata ibunya?
Mungkinkah seorang ibu akan berkata:

“Nak, jangan lupa bawa jaketmu.
Jagalah dadamu terhadap hawa malam.
Seorang wartawan memerlukan kekuatan badan.
O, ya, kalau nanti dapat amplop,
tolong belikan aku udang goreng.”

Ibu, kini aku makin mengerti nilaimu.
Kamu adalah tugu kehidupanku,
yang tidak dibikin-bikin dan hambar seperti Monas dan Taman Mini.
Kamu adalah Indonesia Raya.
Kamu adalah hujan yang dilihat di desa.
Kamu adalah hutan di sekitar telaga.
Kamu adalah teratai kedamaian samadhi.
Kamu adalah kidung rakyat jelata.
Kamu adalah kiblat nurani di dalam kelakuanku.

(Pejambon, Jakarta 1977)

Baca Juga: Terbaru Hari Ini, Sketsa Wajah dan Sosok Pelaku Pembunuhan Ibu dan Anak di Subang Jelas Tergambar

DARI IBU SEORANG DEMONSTRAN
Karya Taufiq Ismail

"Ibu telah merelakan kalian
Untuk berangkat demonstrasi
Karena kalian pergi menyempurnakan
Kemerdekaan negeri ini"

Ya, ibu tahu, mereka tidak menggunakan gada
atau gas airmata
Tapi langsung peluru tajam
Tapi itulah yang dihadapi
Ayah kalian almarhum
Delapan belas tahun yang lalu

Pergilah pergi, setiap pagi
Setelah dahi dan pipi kalian
Ibu ciumi
Mungkin ini pelukan penghabisan
(Ibu itu menyeka sudut matanya)

Tapi ingatlah, sekali lagi
Jika logam itu memang memuat nama kalian
(Ibu itu tersedu sedan)

Ibu relakan
Tapi jangan di saat terakhir
Kau teriakkan kebencian
Atau dendam kesumat
Pada seseorang
Walaupun betapa zalimnya
Orang itu

Niatkanlah menegakkan kalimah Allah
Diatas bumi kita ini
Sebelum kalian melangkah setiap pagi
Sunyi kalian setiap pagi

Sunyi dari dendam dan kebencian
Kemudian lafazkan kesaksian pada Tuhan
Serta rasul kita yang tercinta

Pergilah pergi
Iwan, Ida dan Hadi
Pergilah pergi
Pagi ini

(Mereka telah berpamitan dengan Ibu dicinta
Beberapa saat tangannya meraba rambut mereka
Dan berangkatlah mereka bertiga
Tanpa menoleh lagi, tanpa kata-kata)

Baca Juga: Catatan Rekor David da Silva dan Bruno Cantanhede Bisa Membawa Persib Bandung Juara Liga 1 2021-2022

BUNDA
Karya Amir Hamzah

Batu sungai terserak putih
bintang bertabur gemerlapan cahaya
dipalut pualam pelangi persih
peraduan ibu melepaskan duka

Pohon kemboja tunduk temungkul
memayungi ibu beradu cendera
kusuma terapung tenggelam timbul
di atas lautan angin daksina.

Harum bunga melenakan ibu
sepoi angin mengulikkan bunda
patik pun tunduk berhati mutu
hendak pun menyepa tiada kuasa.

Baca Juga: Profil Lengkap David da Silva: Penyerang Baru Persib Bandung, Muka Lama Liga Indonesia

Dari jauh suara melambai
rasa bunda datang menegur
di atas awan duduk serangkai
dengan bintang angsoka hablur.

Bunga rampai di atas rimba
air selabu di pangkuan dinda
kami menangis tiada berasa
terkenangkan ibu beradu cendera.

Bunga mawar bunga cempaka
bunga melur aneka warna
dipetik dinda di halaman kita
akan penyapu telapakan bunda.

Air selabu patik bawakan
dari perigi dipagari batu
pada bunda kami sembahkan
akan pencuci telapakan ibu.

***

Editor: Andra Adyatama

Sumber: Berbagai Sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x