Kyai Ahmad Shobari, Santri Mbah Kholil Bangkalan, Pengasuh Pesantren Ciwedus Peroleh Ilmu Laduni karena Ini

- 25 Desember 2022, 16:00 WIB
KH Ahmad Shobari, salah satu pesantren CIwedus di Kabupaten Kuningan yang banyak melahirkan ulama dan kyai pendiri pondok pesantren besar.
KH Ahmad Shobari, salah satu pesantren CIwedus di Kabupaten Kuningan yang banyak melahirkan ulama dan kyai pendiri pondok pesantren besar. /Ayi Abdullah/

 

PORTAL MAJALENGKA - Kyai Ahmad Shobari merupakan tokoh ikonik generasi keempat yang mampu membawa Pondok Pesantren Ciwedus Timbang Cigandamekar (pemekaran Kecamatan CIlimus) mencapai masa emas.

Pondok Pesantren Ciwedus yang didirikan Mama Tubagus Kalamudin pada abad 17 tersebut, telah mencetak banyak ulama besar berkualitas.

Menurut KH Ahmad Mustofa Agil SKomI, pengasuh pondok saat ini, Tubagus Kalamudin sendiri bukan kyai biasa karena beliau merupakan kodi Kesultanan Banten.

Baca Juga: KH Ahmad Shobari, Pewaris Pesantren Tua di Kuningan yang Lahirkan Ulama dan Para Kyai Pendiri Pondok Besar

Generasi kedua juga sama, Kyai Syueb. Ulama yang satu ini adalah Sultan Banten ke-14.

Kyai Ahmad mengatakan, data generasi kedua pemimpin pondok masih ada di Kesultanan Banten. Kyai Syueb adalah ulama yang senang menggembala domba, dan membudidayakan ikan.

Sementara generasi ketiga Mama Adro’i, adalah sosok ayah dari KH Ahmad Shobari.

KH Ahmad Shobari di masa pencarian ilmunya menelusuri banyak pesantren dan berakhir di pondok Hadrotussyekh Kholil di Bangkalan Madura.

Jati diri KH Ahmad Shobari sebagai cucu Sultan Banten rapat disembunyikan. Meski demikian, sewaktu dititipkan ke Syekh Kholil Bangkalan, beliau tahu dan maklum bahwa Mama Ahmad Shobari ini bukan santri biasa.

Karenanya beliau langsung menguji KH Ahmad Shobari ini dengan menyuruhnya menggembala kambing agar dikembangbiakan dan digemukkan.

Baca Juga: Mengenal Pendiri Pondok Pesantren Pertama di Majalengka, Syekh Faqih Ibrahim

KH Ahmad Shobari saat itupun menurut saja tanpa banyak tanya. Pekerjaan menggembala kambing dilakoni hingga 15-20 tahun sebagai bentuk takzimnya terhadap sang guru.

Takzim adalah istilah mengagungkan dalam bahasa santri, biasanya dilakukan oleh seseorang pada kyai, ulama serta kerabatanya atau orang yang dituakan karena keilmuan dan kearifannya.

Setelah dirasa cukup KH Ahmad Shobari kemudian dijemput oleh ayahnya, Kyai Adro’i. Beliau ingin anaknya untuk mengurus pondok pesantrennya di Ciwedus.

Saat proses penjemputan, KH Ahmad Shobari muda tak ditemukan di asrama pondok.

Kyai Kholil Bangkalan baru ingat, bahwa belasan atau puluhan tahun lalu beliau menugaskannya untuk menggembala kambing.

Akhirnya beliau menyuruh santri menyusulnya ke hutan, dan benar saat itu ada disana dengan banyak kambing.

Baca Juga: Sejarah Asal-usul Pondok Buntet Pesantren Cirebon, Keistimewaan dan Kehebatan Kyai Abbas Buntet

Saat Kyai Kholil menceritakan bahwa kini ayahnya menjemputnya pulang, Kyai Ahmad Shobari sempat menolak.

Dia merasa selama 15 tahunan itu, dirinya tidak pernah mengaji sekalipun. Siang dan malam hanya menggembala kambing dan tinggal di hutan.

Mama Kholil sendiri kaget dengan kejujuran alasan muridnya tersebut. Beliau kemudian beryadoh 3 hari dan mendapat ketetapan hati menguji Kyai Ahmad Shobari.

Muridnya itu disuguhi air laut dan suruh diminumnya, lalu menanyainya apakah rasanya manis atau tetap asin.

Satu sampai dua kali air tersebut diminum Kyai Ahmad Shobari menyebutnya asin.

Lalu sebelum minum yang ketiga, mama Kholil memberi ancaman bakal memenggal kepala KH Ahmad Shobari di depan orang tuanya jika kembali air tersebut berasa asin.

Baca Juga: Film Pesantren Berlatar Ponpes Kebon Jambu Cirebon Ungkap Sisi Lain Kehidupan Santri, Kapan Tayang?

Pada dasarnya ucapan Mbah Kholil itu adalah bagian ujian, apakah KH Ahmad Shobari tetap berani jujur meski sedang tertekan dan terancam.

Setelah meminum yang ketiga kalinya, KH Ahmad Shobari muda tidak menjawab malah memasrahkan lehernya untuk dipenggal.

Alih-alih dipenggal, KH Ahmad Shobari justru dipeluk oleh Mama Kholil Bangkalan dan dinyatakan lulus, karena telah mengatakan kejujuran meski taruhannya nyawa.

Setelah itu, KH Ahmad Shobari dan Mama Adro’i dipersilahkan pulang. Mama Kholil menitipkan sebuah shalawat yang harus dibacakan Mama Adro’i saat anaknya tertidur.

Mama Adro’i dan KH Ahmad Shobari pun berangkat dari Madura ke Kuningan via pelabuhan Cirebon.

Setelah melewati beberapa waktu di perjalanan, akhirnya mereka sampai di Pelabuhan Cirebon. KH Ahmad Shobari disana menangis.

Baca Juga: 5 Pondok Pesantren di Indramayu yang Bisa Jadi Rujukan Orang Tua untuk Tempat Anaknya Belajar

Mama Adro’i sempat menenangkannya dan menanyakan sebabnya menangis. Ternyata, KH Ahmad Shobari menangis karena haru dan bahagia telah bermimpi belajar berbagai disiplin ilmu pada Nabi Muhammad SAW langsung.

Dalam mimpinya tersebut, beliau merasa telah belajar selama 15-20 tahun. KH Ahmad Shobari beroleh ilmu Laduni karena takzimnya terhadap perintah guru.

Akhirnya sejak tahun 1869, KH Ahmad Shobari mulai mukim di Ciwedus, dan disana kemudian beliau menikah dengan Hj Fatimah, masih sodara sepupu.

Pada zaman KH Ahmad Shobari inilah Ciwedus dikenal lebih luas. Beliau juga dikenal sebagai orang yang istiqomah, serta tidak gentar melawan penjajahan Belanda. Beliau wafat di tahun 1916.

Baca Juga: KH Said Aqil Siradj Beberkan Alasan Pesantren Masih Jadi Pilihan Belajar Ilmu Agama, Karena Dua Modal Ini

K H Ahmad Shobari terkenal sebagai orang yang menyuarakan kebenaran. Tidak takut apapun. Qul Al Haq, Walau Kana Murron.

Beliau memiliki banyak sekali santri yang kemudian menjadi ulama hebat para pendiri pondok pesantren besar. *

Editor: Ayi Abdullah


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x