Dari Nama Babakan Sinom Menjadi Desa Babakan Anyar

- 24 Agustus 2020, 10:18 WIB
ILUSTRASI Desa Wonorejo, Kalimantan Selatan. *
ILUSTRASI Desa Wonorejo, Kalimantan Selatan. * /PIXABAY/

PORTAL MAJALENGKA - Menurut Umi Soka atau Aki Soka sebagai saksi sejarah Babakan Anyar yang masih mengetahui persis riwayat desa ini.

Ia konsisten pada pendirian dan keinginannya untuk tetap mempertahankan nama Babakan Sinom daripada nama Babakan Anyar.

Memang pada mulanya desa ini bernama Babakan Sinom, terdiri atas tiga “kota” atau blok, yaitu Babakan Sinom, Pasanggrahan dan Dayeuh Kolot.

Baca Juga: Masjid Darussalam, Masjid Tertua di Majalengka

Babakan Sinom adalah daratan yang jauh dari sungai Cilutung dan Cimanuk.

Sedangkan Pasanggrahan merupakan kota terbesar di Kadipaten pada saat itu, yang persis berada di samping sungai.

Pasanggrahan adalah pelabuhan utama perahu-perahu niaga. Pasanggrahan juga sebagai pelabuhan bagi arus distribusi gula.

Hasil produksi PG. Kadhipaten didistribusikan melalui sungai Cimanuk dan Cilutung, melalui Indramayu ke pantai utara jawa dengan tujuan Batavia (Jakarta).

Pada saat pelabuhan Pasanggrahan dikuasai oleh Ko Pek Lan atau Babah Pek Lan. Ia adalah penguasa Tionghoa yang menguasai Kadhipaten.

Baca Juga: Pelarian Patih Yudipati, dan Asal Mula Desa Balida Kecamatan Dawuan

Ko Pek Lan melakukan kongsi dengan koleganya Eng Kit mengatur perdagangan di Pasanggrahan.

Kekuatan ekonominya mengalahkan kekuatan Belanda dalam mengendalikan alur bisnis produksi gula.

Maka Ko Pek Lan hadir sebagai pengusaha yang memberikan suntikan dana untuk pabrik gula.

Transaksi perdagangan pada waktu itu tidak menggunakan uang goeng atau uang logam tapi uang kertas.

Kota Pasanggrahan akhirnya dikuasai oleh warga Tionghoa pendatang. Mereka jadi penguasa ekonomi, sementara warga desa menempati Blok Dayeuh Tarikolot.

Baca Juga: Dari Kemitraan Tebu, Bumdes Pandawa Pilangsari Raup Untung

Oleh karena terjadinya perubahan struktur geologi tanah, akhirnya kota Pasanggrahan terendam. Seluruh warga kota Pasanggrahan mengungsi.

Begitu pun dengan warga Dayeuh Tarikolot yang sama-sama terkena imbas luapan air sungai terpaksa mengungsi.

Mereka membuka lahan baru untuk permukiman, yaitu Babakan Baru atau tempat permukiman baru.

Mereka menempati kampung baru Babakan Sinom. Babakan Sinom memiliki warga baru dengan jumlah banyak.

Akibatnya muncul muncul nama baru (anyar) untuk Babakan Sinom yaitu Babakan Anyar.
Akhirnya Pasanggrahan dinyatakan sebagai The lost city atau kota yang hilang.

Baca Juga: Merasa Mampu, Puluhan Orang Mundur dari Bantuan PKH

Terlebih lagi setelah dibangunnya dam Rentang Jatitujuh, tidak ada lagi perahu-perahu dari Indramayu yang bisa masuk ke wilayah ini.

Apalagi setelah munculnya kendaraan-kendaraan bermotor, lalu lintas ekonomi di sungai menjadi tidak berarti lagi.

Pengangkutan barang seperti garam, gula, padi dan tebu dialihkan ke jalur darat.
Peran para pengusaha Tionghoa pun ikut luntur.

Mereka banyak yang beralih profesi menjadi pedagang di Teluk Jambe, Cikempar dan daerah sekitar pablik gula.

Apabila dikaitkan dengan asal-usulnya, Babakan Anyar atau Babakan Sinom merupakan daerah hasil pemekaran dari Desa Karangsambung.

Baca Juga: Reshuffle Kabinet, Dimana Posisi AHY dan Sandiaga Uno?

Daerah ini pada awalnya merupakan daerah kekuasaan Demang Karangsambung.

Desa Babakan Anyar memiliki tiga situs atau cagar budaya berupa makam kramat. Terdiri atas makam kramat Buyut siwalan, Buyut Anis, dan Buyut Gabug.

Makam Karamat Buyut Siwalan terletak di Blok Simpeureun. Makam Kramat Buyut Anis terletak di lokasi yang sama.

Sedangkan Makam Kramat Buyut Gabug terletak di Blok Citabo. Lokasinya persis di depan SDN Babakan Anyar.

Di desa Babakan Anyar berkembang kesenian reog. Kesenian ini dilestarikan oleh pa Cineur asal Balida.

Kesenian Reog adalah pertunjukan seni tabuhan, nyanyian, dan dialog secara spontanitas, kemampuan menari, dan adanya unsur lawakan.

Baca Juga: Dihadapan Andika Perkasa, Ridwan Kamil Curhat Penanggulangan Covid-19

Reog sendiri berasal dari kata ruag-rieg yang artinya bergoyang ke kiri dan ke kanan. Secara filosofis reog menggambarkan suasana kehidupan bersama secara rukun dan damai.

Ada istilah sareudeuk saigeul, sabobot sapihanean.

Instrumen musik reog terdiri atas empat waditra Dogdog yaitu dogdog Enting, Entung, Jongjrong dan Udeng.

Ditambah dengan angklung, gong tiup, ketuk, dan kecrek. Kelompok atau grup reog terkenal di Babakan Anyar adalah reog si Jeler pimpinan Satim.

Si Jeler adalah diambil dari pemain utama grup ini. Grup reog si Jeler pecah menjadi dua kelompok, kelompok kedua berlokasi di daerah Argapura dipimpin oleh ibu Jeler.

Babakan Anyar sekarang dihuni oleh 218 jiwa penduduk. Suatu jumlah yang sangat tidak sebanding dengan desa tetangganya yang mencapai enam kali lipat jumlah tersebut.

Baca Juga: Kita dan Politik

Hal itu menisbikan atau membiaskan kejayaan Babakan Anyar sebagai daerah yang pernah menjadi kota pelabuhan penting di Jawa Barat.

Makam keramat Ki Buyut Sawala adalah situs sejarah yang letaknya di Blok Sawala Desa Cipaku Kecamatan Kadipaten. Lokasinya tepat di belakang Mapolsek Kadipaten.

Makam keramat ini berdampingan dengan makam Bong yang merupakan pemakaman orang-orang  Tionghoa keturunan.

Tak jauh dari sini terdapat bakal lokasi komplek perumahan Kadipaten Permai.
Makam keramat Ki Buyut Sawala termasuk cagar budaya.

Statusnya dilindungi dengan Undang-Undang No. 519 tentang pelestarian cagar budaya. Makam ini terdiri atas dua bagian.

Bagian pertama yaitu makam Mbah Buyut Bungsu atau Eyang Sawala Sawali, bagian dua di bawahnya makam Nyi Mas Ratu Undansari dan Nyi Mas Ratu Mayangsari.

Baca Juga: Joe Biden : Trump Gagal Lindungi Amerika

Makam ini dirawat oleh seorang Kuncen atau juru pelihara. Namanya A. Budiman, warga Cipaku. Juru pelihara bertugas merawat atau membersihkan pusara Mbah Buyut Bungsu.

Pusara ini banyak dikunjungi oleh orang-orang luar Kadipaten. Mereka kebanyakan datang dari Bandung, Garut, dan Sumedang.

Rata-rata mereka menginap di makam ini sambil menjalankan ritual keagamaan. Ada ruangan khusus untuk shalat dan dzikir.

Makam Mbah Buyut Sawala pada awalnya merupakan tempat "nyawala" yang berarti tempat bermusyawarah.

Yang bermusyawarah di sini adalah golongan para aulia. Segala persoalan penting dibahas di tempat ini. Termasuk waktu terjadi wabah di desa Jatiraga (Kadipaten) akibat kekuatan 'teluh jampe'. Teluh jampe ini menyebabkan seluruh warga Jatiraga terserang wabah.

Lalu para aulia yang terdiri atas Mbah Ki Buyut Bungsu, Mbah Buyut Bekel, dan Mbah Buyut Sarjiah bermufakat di sini.

Warga Jatiraga akhirnya sembuh dari wabah tersebut atas pengobatan Mbah Buyut Bungsu. Mbah Buyut Bungsu yang merupakan orang pertama penganut Islam di Kadipaten diriwayatkan memiliki kekuatan magis.

Ia diberi kekuatan mampu terbang dengan menggunakan "barangbang kalapa". Barangbang kalapa adalah dahan pohon kelapa yang sudah mengering.

Mbah Buyut Bungsu selalu bepergian ke Cirebon menggunakan barangbang kelapa. Ia mampu terbang dengan menggunakan mantra bismillahirrahmanirrahim.

Ada perbedaan pengucapan lafadz basmalah tersebut. Lafadz basmalah yang baku digunakan adalah bismillahirahmanirrahim.

Menurut A. Budiman, Mbah Buyut Bungsu memang menggunakan lafadz basmalah yang berbeda untuk mantranya.

Mbah Buyut Bungsu juga dikenal sebagai orang yang membabak atau merintis lahirnya kota Kadipaten.

Ia membabak hutan untuk dijadikan lahan permukiman. Mbah Buyut Sawala berjasa menyebarkan ajaran agama Islam di wilayah Kadipaten yang waktu itu meliputi daerah Kadipaten, Panyingkiran, Kertajati, dan Dawuan.

Sebagai penghormatan, setelah wafat Mbah Buyut Bungsu dimakamkan persis di tempat ia terbiasa duduk bermusyawarah.

Ia diberi nama kehormatan Ki Buyut Sawala yang artinya ahli mufakat. Kini nama Sawala diabadikan menjadi nama taman makam Sawala, dan gedung DPRD "BHINEKA YUDHA SAWALA".

Sawala menjadi nama yang sakral di kalangan masyarakat Majalengka. Sawala mengandung nilai yang amat penting.

Makam Kramat Buyut Sawala menjadi aset penting bagi Desa Cipaku. Meskipun cagar budaya ini tidak menghasilkan keuntungan materil bagi desa Cipaku, namun Makam Kramat Buyut Sawala menjadi sisi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Cipaku.

Desa Cipaku memiliki keterkaitan dengan Desa Heuleut. Cipaku dahulunya merupakan cantilan Desa Heuleut.

Sebagian besar wilayahnya merupakan lahan tegalan yang tak bisa ditanami. Sehingga mengakibatkan warga di Desa Cipaku mengalami ketertinggalan dalam bidang agribisnis.

Infertibilitas tanah di Cipaku menyebabkan masyarakat Cipaku merasa kesulitan bercocok tanam.

Tak kurang dari seratus hektar atau sepertiga tanah di wilayah Desa Cipaku adalah milik Balai Diklat Kehutanan.

Baca Juga: Muamalat Raih Top CSR Awards  

Tanah tersebut sepenuhnya merupakan lahan hutan jati (tectonia grandis), dan mahoni (mahogany).

Dahulu kawasan hutan ini adalah tempat yang "angker". Sebelum dibangunnya terminal Cideres, kawasan hutan Cipaku merupakan daerah yang sangat sepi.

Di kalangan masyarakat setempat muncul sebuah mitos atau kepercayaan. Bilamana ada orang yang lewat hutan jati Cipaku maka orang tersebut harus melemparkan uang.

Mitos ini diketahui oleh orang-orang luar Majalengka. Penulis masih ingat ketika tahun 1970.

Ketika bis melintasi daerah hutan jati Cipaku (sekarang sekitar terminal Cideres) ada beberapa penumpang melemparkan selembar uang kertas atau sekeping uang logam ke arah hutan.

Tradisi lempar uang tersebut diyakini sebagai alat untuk mencegah marabahaya karena pada waktu itu muncul keyakinan kalau tidak melempar uang maka dikhawatirkan perjalanan tidak akan mulus atau akan mengalami kecelakaan.

Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, mitos itu lambat laun sirna. Kini tidak ada lagi tradisi lempar uang di kawasan hutan jati tersebut.

Nama Desa Cipaku sebenarnya merupakan frasa yang berasal dari tiga kata. Cideres, Pancurendang, dan sekarang merupakan Blok Cideres, Babakan Pancurendang.

Desa Cipaku adalah desa yang paling tertinggal di antara 7 desa di wilayah Kecamatan Kadipaten.

Selain jumlah penduduknya yang hanya tak lebih dari 2.000 jiwa, sarana dan prasarananya pun masih terbilang sangat terbatas.(Yoyo Subagio)

Catatan kaki : 1) Teluh Jampe menjadi cikal bakal nama Blok Teluk Jambe di Desa Kadipaten.

Editor: Andra Adyatama


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x