Menguak Pesan Dakwah Sunan Gunung Jati di Balik Kesenian Sintren di Cirebon

- 22 Januari 2023, 14:15 WIB
Menguak Pesan Dakwah Sunan Gunung Jati di Balik Kesenian Sintren di Cirebon
Menguak Pesan Dakwah Sunan Gunung Jati di Balik Kesenian Sintren di Cirebon /Tangkap layar YouTube.com/Annisa Khoirunnisa

PORTAL MAJALENGKA - Pada zaman perkembangan Islam di Cirebon, sintren digunakan Sunan Gunung Jati sebagai media dakwah.

Sunan Gunung Jati bersama Sunan Kalijaga meramu sintren dengan menyisipkan pesan nilai-nilai falsafah ajaran Islam dalam dakwah.

Melalui pertunjukan kesenian sintren ini Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga yakin unsur atau pesa ajaran Islam yang disampaikan mudah dicerna masyarakat saat itu.

Baca Juga: INILAH Syair-syair Bernuansa Magis yang Dinyanyikan dalam Pertunjukan Sintren Kesenian Khas Cirebon

Dakwah lewat pertunjukan kesenian sintren tersebut dianggap sangat tepat. Selain sebagai tontonan pertunjukan kesenian sintren juga bisa difungsikan sebagai tuntunan.

Hal tersebut dapat dilihat pada saat pementasan baik dalam gerakan tariannya, lagu-lagu yang dinyanyikan serta lainnya.

Gerakan tarian sintren memiliki nilai filosofis dengan kecantikan sosok wanita. Ia menari lemah gemulai sebagai dasar wanita yang anggun dan lembut.

Baca Juga: Ini Daftar Potensi Bisnis Kawasan Kertajati Aerocity di Majalengka, Hotel hingga Financial Center

Pada sebuah adegan sintren akan terjatuh saat ia dilempari uang oleh penonton. Hal itu menjadi sebuah simbol pesan bahwa manusia akan terjatuh dari kedirian manusianya jika terlalu mencintai hal-hal duniawi.

Dalam tiap adegan dipastikan sintren selalu berkacamata hitam. Hal itu merupakan simbol bahwa manusia akan berada dalam kegelapan atau dibutakan hartanya apabila cara pandang hidup hanya pada soal materi.

Pada adegan lain sintren akan diikat dan dimasukkan ke kurungan. Simbol ini bisa diartikan bahwa diri sintren merupakan gambaran jiwa atau ruh manusia sementara kurungan adalah jasad atau kehidupan.

Baca Juga: Angka Kemiskinan di Indramayu 2022 Turun, Ini Program yang Digulirkan Bupati Nina Agustina

Jiwa manusia yang tinggal dalam jasad yang hidup seperti sintren yang terikat tali yang dibatasi geraknya oleh kurungan. Ia tak leluasa berada di dalam, diikat nafsu yang timbul dari kehidupan jasad.

Ketika jiwa manusia terbebas dari ikatan nafsunya maka ia akan keluar sebagai sosok manusia yang telah mencapai tingkat kamil (sempurna).

Sebagaimana adegan setelah beberapa waktu sintren yang dimasukkan ke kurungan dalam kondisi badan terikat tali.

Baca Juga: Jawa Timur Jadi Juara Umum PORSENI NU 2023 dengan 21 Emas

Sintren kemudian keluar dari kurungan dengan kondisi yang berubah menjadi gadis berparas cantik tanpa belenggu.

Selain itu adegan itupun dapat dimaknai sebagai simbol kematian. Jadi manusia pasti bakal menghadapi ajal dan akan dimasukkan ke alam kubur.

Sintren yang diikat adalah simbol manusia yang diikat tanggung jawab yang diberikan Tuhan yang menciptakannya. Di alam tersebut bakal hadir Malaikat Munkar dan Nakir yang menanyai manusia akan tanggunggung jawabnya selama hidup di dunia.

Baca Juga: Bunda Wajib Tahu! Ini 6 Tahapan Perkembangan Bermain Anak

Jika tanggung jawab itu mampu ditunaikan dengan baik, maka ia akan terlepas belenggu yang mengikatnya tersebut.

Sementara kalau hal sebaliknya, maka jiwa manusia akan mendapat siksa. Balasan dari segala kelalaiannya selama hidup di dunia.

Juga ada yang mengartikan bahwa ketika Malaikat Munkar dan Nakir datang menemui manusia di alam kubur dan menanyakan tentang siapa Tuhan dan rasulnya, apa agama juga kitabnya, siapa imam saudaranya.

Baca Juga: Bunda Wajib Tahu! Ini 6 Tahapan Perkembangan Bermain Anak

Bila semua pertanyaan itu dapat dijawab dengan benar maka akan terlepas ikatannya, dan manusia terbebas hukuman di alam barzah atau kubur.

Sama halnya dengan gerakan dalam adegan sintren. Syair-syair lagu yang dibawakan dalam pertunjukan kesenian inipun memiliki nilai-nilai filosofis mengandung syiar ajaran Islam.

Seperti yang terdapat pada lirik syair lagu berikut ini:

Baca Juga: Bupati Majalengka: Tol Cisumdawu Bakal Dongkrak Perekonomian di Kota Angin

“Wari lais terapnang sandang ira.” Artinya, pawang lais kenakan pakaianmu.

Wari lais adalah sintren itu sendiri yang menjadi perlambang manusia. Terapnang sandang ira melambangkan untuk menggunakan segala pemberian Tuhan.

“Dunung alah dunung” artinya majikan duh majikan. Majikan atau penguasa di sini adalah Allah SWT, zat yang wajib disembah. Manusia jangan lupa akan Tuhan yang telah memberinya kehidupan.

Baca Juga: Kertajati Aerocity Majalengka Jadi Kota Bandara Pertama di Indonesia

“Si Dununge bahu kiwa.” Artinya, majikannya bahu kiri. Si Dununge bahu kiwa maksudnya adalah Tuhan tidak jauh dari kita.

Tuhan selalu mengetahui segala apa yang kita lakukan. Serapat ap apun kemaksiatan yang kita sembunyikan Dia Maha Mengetahui.

“Pangeran kang lara tangis.” Artinya, Tuhan yang pengasih-penyayang.

Baca Juga: Pembangunan Tol Cisumdawu Masuk Seksi 6 Wilayah Majalengka, Bandara Kertajati Siap Buka Penerbangan

Pangeran kang lara tangis maksudnya memiliki makna bahwa Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang sebagai tempat kita mengabdi dan memohon segala pertolongan.

Itulah beberapa makna pesan nilai-nilai falsafah Islam yang terkandung dalam kesenian sintren di Cirebon. Semoga kita dapat mengambil manfaatnya.***

Ikuti selengkapnya artikel kami di Google News

Editor: Husain Ali

Sumber: Jurnal Yaqzan 2017


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x