Sistem Pemerintahan Sunan Gunung Jati Junjung Azas Desentralisasi Kekuasaan, Mengapa Demikian?

- 2 Agustus 2022, 21:15 WIB
Keraton Pakungwati menjadi salah satu pusat pemerintahan di masa keemasan Sunan Gunung Jati.
Keraton Pakungwati menjadi salah satu pusat pemerintahan di masa keemasan Sunan Gunung Jati. /

 

PORTAL MAJALENGKA - Pola dan gaya kepemimpinan Sunan Gunung Jati memberikan sebuah pemahaman tentang arti kekuasaan yang sesungguhnya.

Sebagai Tumenggung Cirebon, Sunan Gunung Jati menganut sistem kepemimpinan yang bersifat monarki konstitusi karena di atas raja ada orang yang ditunjuk sebagai penasihat.

Pada masa itu, seorang penasihat kerajaan bertugas memberi pandangan dari sisi spiritual dan memberi pertimbangan atas keputusan-keputusan yang akan diambil.

Untuk itu, Sunan Gunung Jati menunjuk para wali yang berada di tanah Jawa sebagai penasihat kerajaan.

Baca Juga: Kewibawaan Sunan Gunung Jati Menyikapi Mitos Neptu di Kalangan Masyarakat Cirebon

Keputusan Sunan Gunung Jati menggunakan penasihat di kepemerintahannya telah diketahui Tumenggung Cirebon sebelumnya, yakni Pangeran Cakrabuana.

Pangeran Cakrabuana adalah pamannya dari garis keturunan ibu, Nyimas Rara Santang. Keduanya merupakan anak dari pasangan Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang.

Azas pemerintahan Cirebon pada masa itu desentralisasi, yaitu suatu bentuk pemberian kewenangan pada pengelola dengan tingkat kewenangan yang lebih rendah di dalam struktur organisasi.

Tujuannya untuk membentuk delegasi yang mampu mengadakan pengambilan keputusan secara mandiri.

Baca Juga: Keramat Sunan Gunung Jati Mampu Menyembuhkan Gangguan Psikologis

Di masa kepemerintahan Sunan Gunung Jati, ciri yang paling menonjol dari azas ini adalah saat kekuasaan pusat kuat, maka birokrasi lokal bertindak sebagai tangan pertama untuk kekuasaan.

Sebaliknya, apabila kekuasaan pusat melemah, maka terdapat ruang gerak bagi kekuasaan lokal untuk menjadi otonom.

Pola kepemerintahan seperti ini pada umumnya bukan hanya memposisikan penguasa lokal sebagai pengikut dari pemegang kekuasaan, akan tetapi juga memiliki hubungan kekerabatan dengan penguasa pusat.

Pola ini menjadi instrumen bagi pemerintah pusat sehingga kepatuhan dari pemerintahan lokal dapat terjamin.

Baca Juga: Kisah Sayyidah Fatimah Az-Zahra yang Tidak Pernah Haid, Bak Bidadari Surga di Atas Bumi

Meski demikian, pola ini tidak berlaku secara menyeluruh dalam kepemimpinan Sunan Gunung Jati.

Mengapa begitu? Sebab, tumenggung dan adipati di daerah-daerah tidak semuanya mempunyai hubungan kekerabatan atau pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati.

Pemahaman di atas memberi kesimpulan bahwa raja merupakan pemimpin tertinggi yang dibantu oleh pimpinan pemerintah lokal dan para penasihat kerajaan.

Struktur kepemerintahan di masa Sunan Gunung Jati terdiri dari tumenggung sebagai pemimpin tertinggi, diikuti oleh panglima pasukan adipati, kemudian senopati, dan pemimpin wilayah yaitu para Ki Gede.

Baca Juga: Perang Dahsyat Kerajaan Galuh dengan Kesultanan Cirebon, Raden Arya Kemuning Diutus Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati tidak menempatkan dirinya sebagai penguasa, melainkan sebagai seorang pemimpin yang mengayomi seluruh rakyatnya dari berbagai latar belakang agama dan budaya yang berbeda. *

Editor: Ayi Abdullah

Sumber: Buku Jalan Hidup Sunan Gunung Jati karya Eman Suryaman


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x