Kemudian, Sang Sunan diminta Sunan Ampel untuk melanjutkan dakwanya dan menyebarkan Islam di Cirebon. Di Cirebon, ia menjadi guru agama menggantikan Syekh Datuk Kahfi di Gunung Sembung.
Semasa berdakwa di Cirebon, Sunan Gunung Jati menikah dengan Nyi Ratu Pakungwati, putri dari Pangeran Cakrabuana penguasa Cirebon pada saat itu. Tidak lain anak dari uwaknya sendiri.
Setelah Pangeran Cakrabuana wafat, kepemimpinan Kerajaan Cirebon dilanjutkan Sunan Gunung Jati selaku menantunya.
Saat Sunan Gunung Jati memimpin Kerajaan Cirebon, ajaran Islam berkembang pesat di wilayah Cirebon, Sunda Kelapa, Banten, dan wilayah Jawa bagian barat lainnya.
Untuk memperluas dakwahnya mengenai ajaran Islam, ia menikah dengan Nyai Ratu Kawunganten, seorang putri Bupati Kawunganten Banten. Salah seorang anaknya yang bernama Maulana Hasanudin, meneruskan dakwa ayahnya dan menjadi Sultan Banten.
Pada saat itu, Cirebon menjalin hubungan dengan Tiongkok, Sunan Gunung Jati juga menikah dengan Ong Tien Nio, putri Kaisar China, Hong Gie dari Dinasti Ming. Setelah menikah dengan Sunan Gunung Jati, Ong Tien kemudian mengubah namanya menjadi Nyi Mas Rara Sumanding.
Sunan Gunung Jati diberi julukan Maulana Jati atau Syekh Jati oleh para santrinya. Karena ia berdakwa di daerah pengunungan. Oleh sebab itu ia digelari dengan Sunan Gunung Jati.
Pada tahun 1568 Masehi, Sunan Gunung Jati wafat. Jenazahnya dimakamkan di Cirebon, Jawa Barat.