Baca Juga: Densus 88 Tangkap Terduga Teroris di Sejumlah Wilayah saat PPKM dan Jelang HUT Kemerdekaan RI
Perang Diponegoro meletus setelah Sang Pangeran tak mau Belanda ikut campur dalam urusan kerajaan. Diponegoro juga melihat para petani Jawa sengsara akibat dekrit Van der Capellen, tanggal 6 Mei 1823.
Penguasa Belanda itu memerintahkan agar semua tanah yang disewa orang Eropa dan Tionghoa wajib dikembalikan kepada pemiliknya per 31 Januari 1824. Namun, pemilik lahan diwajibkan memberikan kompensasi kepada penyewa lahan Eropa.
Untuk menyelamatkan rakyat, Pangeran Diponegoro membatalkan pajak Puwasa agar para petani terutama di darah Tegalrejo dapat membeli makanan dan peralatan.
Kemarahan Pangeran Diponegoro kian memuncak saat Patih Danureja atas perintah Belanda memasang tonggak-tonggak untuk membuat rel kereta api melewati makam leluhurnya.
Baca Juga: Emas Olimpiade Greysia-Apriyani Hadiah Ulang Tahun Ke-76 Kemerdekaan RI
Pihak keraton bukannya membela Diponegoro. Tetapi malah memerintahkan agar Diponegoro dan Mangkubumi Tegalrejo ditangkap.
Diponegoro menyingkir ke Goa Selarong. Tempat itu kemudian menjadi markas perlawanannya.
Dari Goa Selarong pula Diponegoro mengumandangkan genderang perang terhadap Belanda. Ia memimpin rakyat Jawa untuk mengangkat senjata. Golongan priyayi pun mendukungnya dengan mengirim biaya perang.
Perang Diponegoro berlangsung selama lima tahun. Meski begitu Perang Diponegoro paling merugikan Belanda. Rakyat turut menjadi benteng kekuatan bagi Diponegoro.