Puisi Diponegoro yang Meledak-ledak Karya Chairil Anwar, Paling Cocok untuk Agustusan

17 Agustus 2021, 07:39 WIB
Teks puisi tentang kemerdekaan HUT RI ke-76. /Pixabay/skitterphoto

PORTAL MAJALENGKA --- Salah satu kegiatan yang sering dilakukan untuk memeriahkan peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus, adalah pentas baca puisi maupun lomba baca puisi.

Di tengah masyarakat, peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus kerap disingkat agustusan.

Panitia kegiatan agustusan yang hendak menampilkan pembacaan puisi, kerap pusing memilih puisi yang cocok. Begitu juga dengan panitia lomba baca puisi untuk agustusan.

Terdapat keinginan untuk mengenang kembali para pahlawan yang telah berjuang melawan penjajah. Hal itu bertujuan agar di saat ini semangat dan kepahlawanan dapat diserap semangatnya. Sehingga dapat dijadikan modal untuk mengisi kemerdekaan berupa turut serta memajukan pembangunan.

Baca Juga: Kumpulan Puisi Bertema Kemerdekaan yang Kerap Dilombakan atau Dibacakan saat Agustusan

Di bulan Februari tahun 1943, penyair Chairil Anwar menorehkan pena dan lahirlah puisinya yang penuh energi, berjudul Diponegoro.

Selain menyiratkan kekaguman sang penyair terhadap Pangeran Diponegoro yang kemudian ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional, Chairil Anwar juga menyiratkan bahwa semestinya semangat Sang Pangeran turut mewarnai semangat pembangunan untuk mengisi kemerdekaan.

Puisi Diponegoro dimuat dalam buku "Kerikil Tajam dan Yang Terempas dan Yang Putus" terbitan Penerbit Pustaka Rakyat tahun 1949.

Pada tahun 1991, buku berisi kumpulan puisi karya Chairil Anwar itu diterbitkan oleh penerbit yang berbeda, yakni PT Dian Rakyat.

Baca Juga: Inilah Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang Selalu Dibacakan Setiap 17 Agustus dan Sejarahnya

"Kerikil Tajam dan Yang Terempas dan Yang Putus" terdiri atas dua bagian. Bagian pertama berjudul "Kerikil Tajam", bagian kedua berjudul "Yang Terempas dan Yang Putus".

Puisi Diponegoro termasuk puisi dengan energi yang meledak-ledak. Karena itu paling banyak diminati para pembaca puisi maupun panitia lomba baca puisi.

Dengan energi yang meledak-ledak itu, puisi Diponegoro seperti mengingatkan kembali tentang suasana peperangan yang dihadapi Pangeran Diponegoro, tokoh yang diangkat dalam puisi.

Diksi atau pilihan kata yang dipergunakan penyair sebenarnya cukup sederhana. Sehingga mudah dipahami.

Baca Juga: 25 Link Twibbon HUT Kemerdekaan ke-76 RI, Cocok untuk Diunggah di Media Sosial

Namun di balik kesederhanaanya, kata-kata yang dituliskan Chairil Anwar penuh majas. Sehingga terasa mampu menghidupkan suasana medan perang sekaligus melahirkan tenaga kata-kata yang meluap-luap.

Dilansir dari ditsmp.kemdikbud.go.id, tanggal akses Senin 16 Agustus 2021, Pangeran Diponegoro adalah putra Sri Sultan Hamengku Buwono III bernama asli Raden Mas Ontowiryo, lahir pada 11 November 1785 di Yogyakarta.

Di kemudian hari, Sang Pangeran dikenal karena memimpin Perang Diponegoro atau juga disebut Perang Jawa. Perang Jawa merupakan pertempuran yang paling menguras tenaga bagi Belanda.

Diponegoro dan pasukannya menggunakan taktik perang gerilya yang merepotkan Belanda.

Baca Juga: Densus 88 Tangkap Terduga Teroris di Sejumlah Wilayah saat PPKM dan Jelang HUT Kemerdekaan RI

Perang Diponegoro meletus setelah Sang Pangeran tak mau Belanda ikut campur dalam urusan kerajaan. Diponegoro juga melihat para petani Jawa sengsara akibat dekrit Van der Capellen, tanggal 6 Mei 1823.

Penguasa Belanda itu memerintahkan agar semua tanah yang disewa orang Eropa dan Tionghoa wajib dikembalikan kepada pemiliknya per 31 Januari 1824. Namun, pemilik lahan diwajibkan memberikan kompensasi kepada penyewa lahan Eropa.

Untuk menyelamatkan rakyat, Pangeran Diponegoro membatalkan pajak Puwasa agar para petani terutama di darah Tegalrejo dapat membeli makanan dan peralatan.

Kemarahan Pangeran Diponegoro kian memuncak saat Patih Danureja atas perintah Belanda memasang tonggak-tonggak untuk membuat rel kereta api melewati makam leluhurnya.

Baca Juga: Emas Olimpiade Greysia-Apriyani Hadiah Ulang Tahun Ke-76 Kemerdekaan RI

Pihak keraton bukannya membela Diponegoro. Tetapi malah memerintahkan agar Diponegoro dan Mangkubumi Tegalrejo ditangkap.

Diponegoro menyingkir ke Goa Selarong. Tempat itu kemudian menjadi markas perlawanannya.

Dari Goa Selarong pula Diponegoro mengumandangkan genderang perang terhadap Belanda. Ia memimpin rakyat Jawa untuk mengangkat senjata. Golongan priyayi pun mendukungnya dengan mengirim biaya perang.

Perang Diponegoro berlangsung selama lima tahun. Meski begitu Perang Diponegoro paling merugikan Belanda. Rakyat turut menjadi benteng kekuatan bagi Diponegoro.

Baca Juga: Jelang Hari Kemerdekaan RI Ke-76, Menag Yaqut Cholil Ajak Kampanyekan 5M+1D

Pendeknya Belanda tak pernah mengalami perang yang disokong rakyat seperti Perang Diponegoro atau Perang Jawa.

Terkenal saat itu semboyan Perang Diponegoro yang berbunyi, "Sadumuk batuk sanyari bumi, ditohi tekan pati," artinya "Seruas jari sejengkal tanah, dibela sampai mati."

Pangeran Diponegoro mendapat bantuan dari Kyai Mojo, pemimpin spiritual yang memiliki pengaruh luas.

Tahun 1827 Belanda menerapkan benteng stelsel alias pertahanan sistem benteng untuk menjepit posisi Diponegoro. Setahun kemudian Kyai Mojo ditangkap menyusul kemudian Panglima Sentot Alibasyah Prawirodirjo.

Baca Juga: Bupati Imbau Majalengka Pasang Bendera dan Umbul-umbul Kemerdekaan RI, Ini Link Desainnya

Tanggal 28 Maret 1830 Jenderal De Kock akhirnya menangkap Diponegoro. Setelah kepada Sang Pangeran dikabarkan akan diajak berunding.

Diponegoro ditangkap di Magelang. Setelah melihat situasi kecurangan Belanda, Diponegoro menyatakan bersedia menyerah dengan syarat sisa laskarnya dilepaskan.

Setelah ditangkap Diponegoro diasingkan ke Manado kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.

Perang Diponegoro sejak 1825 hingga 1830 menyebabkan 8.000 tentara Belanda dan 7.000 serdadu pribumi pembela penjajah tewas.

Baca Juga: Pemerintah Undang 40 Ribu Masyarakat Indonesia Ikuti Upacara Kemerdekaan Ke-76 Virtual, Berikut Link Resminya

Setelah Diponegoro dikalahkan, Belanda menguasai Jawa karena seluruh raja dan bupati di wilayah itu menyerah, Kecuali Bupati Ponorogo Warok Brotodingrat III.

Itulah sekilas tinjauan terhadap puisi Diponegoro karya Chairil Anwar. Serta riwayat singkat Perang Diponegoro atau Perang Jawa yang dikisahkan menggunakan puisi tersebut.

Berikut ini puisi Diponegoro karya Chairil Anwar yang dikutip dari kelasa.kemdikbud.go.id, tanggal akses Senin 16 Agustus 2021.

DIPONEGORO
Karya: Chairil Anwar

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu

Sekali berarti
Sudah itu mati

MAJU

Bagimu negeri
Menyediakan api

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditinda
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai

Maju
Serbu
Serang
Terjang

(Februari 1943)

***

Editor: Husain Ali

Sumber: ditsmp.kemdikbud.go.id kelasa.kemendikbud.go.id

Tags

Terkini

Terpopuler