Kesetaraan Gender yang Semakin Blunder

- 3 Januari 2021, 14:35 WIB
Ilustrasi kesetaraan gender.*
Ilustrasi kesetaraan gender.* /Pixabay/Tumisu./

Oleh : Irma Faryanti*)

Tuntutan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan kembali menyeruak. Tidak ada asap jika tidak ada api, tentu hal ini tidak akan muncul apabila tidak ada pemicu permasalahan.

Bermula dari sebuah kasus yang terjadi beberapa waktu lalu yang menimpa seorang buruh perempuan bernama Elitha Tri Novianty, ia bekerja di perusahaan es krim PT. alpen food industry (AFI) atau yang dikenal dengan Aice.

Elitha terpaksa harus melakukan kuret pada bulan Februari silam, dikarenakan pendarahan hebat yang dialaminya. Hal ini terjadi setelah dirinya dipaksa oleh pihak perusahaan untuk mengangkat beban berat dalam kondisi hamil, terlebih saat itu penyakit endometriosis yang dideritanya tengah kambuh. 

Baca Juga: Moderasi Beragama dalam Pendidikan Islam (Refleksi Hari Amal Bakti ke-75 Kementerian Agama)

Masih pada laman yang sama, pihak Aice menolak tuduhan bahwa perusahaan telah memaksa pegawainya untuk tetap bekerja walau dalam kondisi hamil, bahkan ia menyebut bahwa pihak perusahaan justru melarang wanita hamil untuk bekerja shift malam.

Namun hal ini seolah terbantahkan dengan pernyataan Sarinah selaku juru bicara Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (F-SEDAR), yang membeberkan fakta bahwa sejak tahun 2019 hingga saat ini, tercatat 15 kasus keguguran dan 6 kasus dilahirkannya bayi dalam keadaan meninggal yang dialami oleh buruh Aice.

Hal ini pun sontak menuai reaksi berbagai pihak yang mengecam bahkan berencana memboikot perusahaan es krim tersebut.

Baca Juga: Kang Uu Nyatakan Siap Menjadi Orang Pertama Penerima Vaksin Covid-19

Adanya kasus perlakuan tidak adil terhadap kaum perempuan ini kemudian memicu reaksi dari para aktivis kesetaraan gender.

Menurut mereka hal ini disebabkan oleh budaya patriarki yang menempatkan kaum perempuan sebagai second person, khususnya dalam bidang pekerjaan, buruh perempuan di perusahaan-perusahaan sering diperlakukan semena-mena.

Menyeruaknya isu kesetaraan ini tidak bisa dilepaskan dari sistem hidup yang saat ini tengah diusung. Kapitalis yang mendominasi negeri ini juga memiliki produk-produk pemikiran yang tidak kalah merusak.

Baca Juga: Pemkab Garut Bangun Bamboo Creative Centre di Selaawi Senilai Rp8,8 Miliar

Salah satunya adalah ide kesetaraan tersebut, ide ini seolah bagai mantra yang ditujukan untuk meraih sebuah target pencapaian yang bersifat materialistik. Memberdayakan kaum perempuan demi mencapai tujuan tersebut adalah sesuatu yang sah-sah saja dalam pandangan kapitalis.

Dengan bualan janji manis bak racun berbalut madu, kaum perempuan dibuat terbuai seolah ide kesejahteraan ini adalah hal baik dan bisa memberi kesejahteraan bagi mereka.

Padahal sejatinya, sebuah kesejahteraan tidak akan pernah terwujud dalam sebuah sistem kapitalis.

Baca Juga: Subsidi Listrik Berlanjut, Cek Siapa yang Bakal Menerima dan Sampai Kapan Berlaku

Karena yang terjadi justru kaum perempuan mengalami eksploitasi dengan pemberian upah yang sangat rendah.

Para kapital (pemilik modal) tentu tidak ingin merugi dengan memberi upah yang tinggi, karena dalam bisnis berlaku prinsip ekonomi yang begitu mereka pegang teguh yaitu bagaimana caranya mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan modal yang sekecil-kecilnya.

Itulah sebabnya, mendamba kesetaraan dalam sebuah sistem kapitalis tak ubahnya bagai mimpi di siang bolong.

Baca Juga: Tahun 2021 Pelajar DKI Jakarta Tetap Belajar di Rumah

Sebagai sistem yang menjadikan manfaat sebagai asas bagi segala sesuatu, kapitalis hanya berpihak pada para pemilik modal.

Berharap bahwa sistem ini akan mewujudkan kesetaraan kaum perempuan dengan laki-laki adalah suatu kesalahan besar, karena faktanya ide ini bertentangan dengan prinsip Kapitalis itu sendiri yang justru bersikap diskriminatif pada kaum perempuan.

Itulah sebabnya, mendamba terwujudnya keadilan bagi kaum wanita dalam konteks ini sampai kapan pun hanya akan tetap menjadi wacana.

Baca Juga: Mensos Lakukan Pemetaan Calon Penerima Bansos Tiap Daerah

Ide kesetaraan gender itu sendiri tak lebih sekedar ilusi yang tidak mungkin bisa diwujudkan karena bertentangan dengan fitrah manusia. Allah Swt telah menciptakan laki-laki dan perempuan dengan kodratnya masing-masing.

Namun dalam sistem kapitalis, nafkah yang seharusnya menjadi kewajiban laki-laki seolah dipaksakan untuk dijalani oleh kaum perempuan, padahal hal tersebut hanya akan menambah beban perempuan dalam menjalani kehidupannya. Tugas sebagai ibu bagi generasi penerus juga akan terabaikan.

Ketika Kapitalis tidak bisa diandalkan dalam memberi solusi atas permasalahan kehidupan, tentu diperlukan alternatif lain sebagai rujukan. Satu-satunya tumpuan harapan hanyalah Islam.

Baca Juga: Status Siaga, Gunung Merapi Keluarkan Guguran Material Sejauh 1,5 Kilometer

Sebagai sebuah sistem hidup yang berasal dari Allah Swt. Islam memiliki aturan yang sempurna bagi kehidupan manusia. Termasuk dalam hal pengaturan kedudukan laki-laki dan perempuan, Islam tidak pernah menganggap salah satu lebih rendah dari yang lainnya.

Walau terdapat hukum-hukum khusus bagi masing-masing, namun perbedaan hukum ini tidak dimaksudkan untuk merendahkan ataupun meninggikan derajat salah satu dari keduanya. Karena penentu tingkat kemuliaan dalam Islam hanya terletak pada ketakwaannya.

Tidak bisa dikatakan ketika didapati bahwa dalam Islam hanya laki-laki lah yang boleh menjadi pemimpin, kewajiban nafkah ada di tangan laki-laki atau pembagian waris dua berbanding satu, kemudian perempuan menjadi pihak yang terpinggirkan dan derajatnya lebih rendah dari laki-laki.

Baca Juga: Angin Puting Beliung Terjang Slangit Kabupaten Cirebon, 278 Rumah Rusak

Hal ini justru harus dipahami sebagai keadilan Islam dalam menempatkan kedudukan masing-masing sesuai kodratnya.

Namun keselarasan kedudukan laki-laki dan perempuan tidak akan terlaksana sempurna tanpa adanya peran negara sebagai pengatur urusan masyarakat. Mencuatnya kasus yang menimpa perempuan adalah diakibatkan sikap abai penguasa terhadap rakyatnya dengan mengabaikan berbagai kebutuhannya.

Sementara di dalam Islam, seluruh kebutuhan individu masyarakat dijamin oleh negara yang mana posisinya adalah sebagai pengayom rakyat, bukan sebagai penjual dan pembeli seperti yang ada dalam sistem kapitalis.

Baca Juga: Khofifah Indar Parawansa Terpapar Covid-19, Satgas Penanganan Covid-19 Telusuri Ring Terdekat

Seorang pemimpin Islam akan senantiasa berpegang teguh pada syariat Allah dengan kesadaran penuh bahwa kelak ia akan dimintai pertanggungjawaban atas jabatan yang diembannya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. :
"...Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya.." (HR. Bukhari: 4789)

Sosok kepemimpinan seperti inilah yang saat ini dibutuhkan oleh umat. Aturan Allah swt. akan terlaksana sempurna di setiap aspek kehidupan.

Termasuk dalam hal jaminan kemuliaan dan kehormatan bagi seorang perempuan juga akan terpelihara tanpa sedikit pun merasakan diskriminasi ataupun perbedaan perlakuan. Tidakkah kita merindukan sistem mulia tersebut?

Baca Juga: Sampai Akhir 2020, Sebanyak 237 Dokter Meninggal Karena Covid-19

Wallahu a'lam Bishawwab

*) Penulis adalah Member Akademi Menulis Kreatif

 

Editor: Andra Adyatama


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x