Perlawanan Rakyat Biyawak Terhadap Pajak Tanah yang Diterapkan Belanda

- 26 Agustus 2020, 06:52 WIB
Ilustrasi Pasukan Belanda/Twitter/@af1_
Ilustrasi Pasukan Belanda/Twitter/@af1_ /

PORTAL MAJALENGKA - Desa Biyawak adalah salah satu desa yang berada di wilayah Kecamatan Jatitujuh Kabupaten Majelengka Jawa Barat.

Desa Biyawak berbatasan dengan desa Bantarjati, tempat kelahiran Ki Bagus Rangin, seorang yang dikenal sangat gigih berani melawan kesewenang-wenangan penjajah Belanda.

Biyawak sebagai sebuah nama diperkirakan baru muncul pada tahun 1805 Masehi.

Baca Juga: Pesan Bupati Untuk Kejayaan Golkar Majalengka di Masa Depan.

Nama Biyawak muncul berhubungan dengan peristiwa pemberontakan Ki Bagus Rangin, bahkan di tempat yang kini dinamai Biyawak itulah awal mula munculnya pemberontakan Ki Bagus Rangin.

Biyawak dahulunya lahan yang dihuni beberapa orang, wilayahnya masuk pada wilayah Bantarjati.

Kata "Biyawak" merupakan kependekan dari kata bahasa Cirebon “Biyaya Awak” yang maknanya berarti "biaya badan" atau juga bermakna “Pajak Perkepala”. 

Baca Juga: Tiga Proyek Nasional Terancam Mangkrak

Pada tahun 1602-799 Tanah pertikelir dimunculkan diwilayah Keresidenan Cirebon, hal tersebut berlanjut hingga  masa Daendels, Raffles, John Fendall, sampai pada masa Van der Capellen (1820).

Pemilik tanah partekelir berhak memberlakukan berbagai macam pajak, termasuk bagi petani-petani yang mengelola tanah (Pusponegoro dan Notosusanto, 2008: 400).

Tanah partikelir adalah tanah milik pemerintah yang di kontrak oleh pengusaha, dengan kendali penuh pengelolaan ditangan pemilik/Pengusaha.

Baca Juga: Objek Wisata Baru, Terbentuk Dari Batuan 20 Juta Tahun Lalu

Pada tahun 1602-1799 tanah-tanah pertekelir sudah digarap secara mandiri oleh petani-petani pribumi, namun karena pemerintah Belanda mengkalim bahwa tanah tersebut milik Negara maka kegiatan pertanian yang dilakukan oleh penduduk menjadi illegal jika pelaksanaanya tanpa seijin pemegang sewa dan pemerintah penjajah.

Pada waktu itu, tanah partikelir disewakan penjajah Belanda pada pengusaha Cina.

Dalam kebijakan pengelolaannya para pengusaha Cina memberlakukan sewa bagi siapa saja petani yang menggarap tanah partikelir.

Baca Juga: Perkuat Nilai-Nilai Kebangsaan sebagai Modal Utama Pembangunan

Selain itu penggarap tanah parteklir juga dikenakan pajak perkepala, pajak perkepala imilah yang disebut orang Bantar Jati sebagai “Biyaya Awak”. 

Penderitaan kaum tani di wilayah Bantarjati akibat diberlakukanya berbagai macam pajak membuat kehidupan mereka tambah miskin.

Kemiskinan yang merajalela serta kesombongan para pengusaha Cina kemudian memantik pemberontakan.

Pemberontakan mula-mula diwujudkan dalam bentuk mogok bayar pajak kepada pengusaha Cina.

Baca Juga: Data dan Fakta Final Liga Champions

Kemudian peristiwa mogok pajak ini pada nantinya dilaporkan oleh pemilik tanah partekelir ke pemerintah penjajah Belanda.

Hingga akhirnya pemerintah penjajah turun tangan dan mengusir para petani ini dari wilayah tanah partikelir. 

Pengusiran dan kesewenang-wenangan pemerintah Penjajah Belanda yang dilakukan terhadap para petani kemudian dibalas dengan perlawanan.

Ribuan rakyat terutamanya kaum tani memberontak mereka membunuhi para pengusaha Cina, Pejabat Pribumi antek Pengusaha dan juga membunuhi tentara penjajah Belanda.

Baca Juga: Berlian dan Asal-usul Desa Babajurang Jatitujuh

Pemberontakan kemudian di respon oleh Pemerintah Penjajah Belanda dengan senjata, hingga terjadilah peperangan besar. 

Perang semakin besar dan meluas karena perlawanan kaum tani didukung oleh rakyat pribumi yang terdampak pajak perkepala.

Pemberontakan yang semula terjadi di wilayah Bantarjati kemudian meluas ke Indramayu dan Cirebon.

Lebih-lebih sebelum itu yaitu pada tahun 1802 Raja Kesultanan Kanoman diasingkan ke Ambon oleh Belanda karena membela rakyat dan kaum tani.

Baca Juga: Desa Jatitengah dan Robohnya Tujuh Pohon Jati

Sehingga kebencian rakyat pada Belanda semakin menjadi-jadi, Pemberontakan rakyat di wilayah Keresidenan Cirebon yang mencakup wilayah Majalengka, Indramayu dan Cirebon berlangsug lama lebih dari 15 tahun.

Wilayah atau tempat yang menjadi awal mula meletusnya pemberontakan yang dipimpin Ki Bagus Rangin itu kemudian dinamai “Biyawak” sebagai pengingat peristiwa pilu penderitaan rakyat akibat pajak perkepala yang diterapkan Penjajah Belanda melalui tuan tanah pemilik tanah partikelir. 

Meskipun nama Biyawak muncul bersamaan dengan peristiwa pemberontakan Bagus Rangin (1805-1818) akan tetapi Biyawak sebagai sebuah Pemerintahan Desa dan mempunyai kepala pemerintahan (Kuwu) diperkirakan baru terjadi pada tahun 1840 an, adapun Kuwu pertama yang menjabat adalah Kuwu Margahayu.(Disparbud Majalengka)

Editor: Andra Adyatama


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x