Soal Perpanjang Masa Jabatan Presiden, Begini Kata Praktisi Hukum Asal Cirebon

- 30 Maret 2022, 08:00 WIB
Soal Perpanjang Masa Jabatan Presiden, Begini Kata Praktisi Hukum Asal Cirebon
Soal Perpanjang Masa Jabatan Presiden, Begini Kata Praktisi Hukum Asal Cirebon /twitter Anthony Budiawan

PORTAL MAJALENGKA – Narasi memperpanjang masa jabatan presiden saat ini memang agak sedikit meredup. Namun, bukan berarti warga negara tidak boleh kembali berpendapat.

Perpanjangan masa jabatan presiden pada awal Maret 2022 lalu memang tengah trending, karena disokong oleh sejumlah kekuatan politik partai, seperti PKB, Partai Golkar dan PAN.

Namun, narasi perpanjangan masa jabatan presiden juga banyak mendapatkan kecamatan dan penolakan, karena tidak sesuai dengan konstitusi Republik Indonesia.

Baca Juga: Update MotoGP 2022, Repsol Honda Team Belum Umumkan Pengganti Sementara Marc Marquez di MotoGP Argentina

Pendapat penolakan atas narasi tersebut juga disampaikan praktisi hukum muda asal Cirebon, Rd Agung Fajar Aprilianto.

Kepada Portal Majalengka, dia mengatakan bahwa narasi yang selama ini didengungkan terkait penambahan periodesasi masa jabatan Presiden, harus memiliki payung hukum atau legitimasi.

Legitimasi itu, bisa melalui amandemen konstitusi dalam hal Kekuasaan Pemerintahan Negara khususnya Pasal 7 UUD 1945 atau Dekrit Presiden.

Baca Juga: Update MotoGP 2022, Marc Marquez Absen di Argentina Akhir Pekan ini, Begini Kondisinya

“Namun, dari rasionalisasi ilmiah tersebut sangat tidak mungkin untuk situasi negara sampai dengan hari ini,” katanya, Rabu 30 Maret 2022.

Dia menjelaskan, keduanya tidak dapat dilakukan secara sembarangan, karena membutuhkan unsur-unsur yang memenuhi, dalam amandemen konstitusi.

Misalnya, kehadiran persoalan yang urgential sehingga membutuhkan suatu amandemen UUD 1945 untuk yang kelima kalinya.

Baca Juga: Laga Kedua Korea Selatan U-19 vs Timnas Indonesia U-19, Marselino Ferdinan Perkecil Kekalahan Garuda Muda

Dia lebih setuju apabila, proses amandemen UUD 1945 mengarah pada isu-isu green constitution atau jumlah para anggota DPD agar dapat proporsional dengan wilayahnya tidak menyamaratakan seluruhnya berjumlah empat demi menghadirkan efesiensi dan efektifnya penyelenggaraan negara untuk tujuanya.

“Jika narasi yang dibangun dari kelompok-kelompok yang menginginkan adanya pertambahan masa jabatan periodesasi Presiden dengan alasan pemulihan ekonomi, Itu hanyalah sebuah lelucon para pemangku kebijakan yang sebelumnya memiliki waktu untuk mengatasi hal tersebut,” pria yang saat ini tengah menempuh S2 Ilmu Hukum Kebijakan Publik di Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Selanjutnya Dekrit Presiden, tentu Presiden dapat mengeluarkan Dekrit apabila negara sedang mengalami peristiwa yang sifatnya “gejolak”.

Baca Juga: Hore! Kartu Prakerja Gelombang 25 Sudah Dibuka, Ini Tips agar Lolos Evaluasi

“Dalam sejarah, Indonesia pernah mengalami hal ini pada era Soekarno yang mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 atas desakan dari masyarakat (mayor) untuk kembali pada UUD 1945.”

“Tentu hari ini kita sedang tidak mengalami hal di tahun 1959 oleh karenanya menjadi alasan saya di awal untuk “cuek” mengingat usulan sampah yang larut dalam ilusi konstitusi sampai dengan hari ini,” tegasnya.

Lebih jauh, publik tidak membutuhkan perpanjangan periodesasi presiden melainkan, menginginkan hal-hal yang bersifat kongkrit dan realistis.

Baca Juga: Hasil Pertandingan Kontra Korea Selatan U-19, Timnas Indonesia U-19 Kalah Telak

Misalnya, tidak adanya kelangkaan minyak goreng yang mengakibatkan harga stabil, tiada kenaikan bahan pokok, hilangnya konflik-konflik agraria, konflik Papua segera meredam secara damai dan masih banyak persoalan lainya.

“Lebih baik fokus pada penyelesaian secara cepat dan cermat memanfaatkan waktu di akhir masa periodesasi rezim bukan justru menambah jabatan menjadi tiga periode yang menghasilkan tirani, penghianatan tuntutan reformasi dan melanggengkan oligarki,” pungkasnya.***

Editor: Andra Adyatama


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x