Pareresan, Tradisi Unik di Desa Sangiang Majalengka Sebagai Bentuk Rasa Syukur

16 Januari 2023, 21:22 WIB
Salah satu potret rangkaian tradisi Pareresan di Desa Sangiang Majalengka /Foto: ksdae.menlhk.go.id

PORTAL MAJALENGKA - Desa Sangiang Kabupaten Majalengka memang menyimpan panorama alam yang indah, terutama keberadaan Situ Sangiang yang mempesona.

Namun Desa Sangiang Majalengka ini ternyata tak melulu menyajikan panorama alam yang indah saja, melainkan terdapat daya tarik berupa ritual tahunan.

Ritual tahunan di Desa Sangiang, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Majalengka yang masih dilestarikan yakni ritual Pareresan.

Ritual Pareresan di Desa Sangiang Majalengka ini merupakan bentuk syukur kepada Tuhan yang dilakukan masyarakat setempat atas hasil panen bumi yang diraih.

Baca Juga: Info Gempa Hari Ini, Terjadi di 4 Titik dari Wilayah Aceh sampai Sulawesi

Ritual Pareresan di Desa Sangiang Majalengka ini masuk wilayah kerja Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah II Majalengka.

Ritual Pareresan merupakan bentuk budaya masyarakat agraris di sekitar lokasi wisata alam Situ Sangiang yang sudah dilakukan sejak lama secara turun temurun.

Sesuai namanya, Pareresan bermakna syukuran setelah masyarakat Desa Sangiang yang sebagian besar berprofesi sebagai petani beres panen.

Atau juga nama Pareresan itu berasal dari bahasa Sunda yaitu reres panen, yang artinya beres panen.

Tradisi Pareresan ini biasanya dihadiri oleh berbagai elemen pejabat seperti Camat dan Bupati setempat.

Baca Juga: JANGAN Lakukan Hal Konyol Berikut terhadap Ikan Channa, Bakal Nyesel Nanti

Desa Sangiang Majalengka sendiri adalah salah satu Desa yang berada di kaki Gunung Ciremai. Desa ini terbentuk sebagai Desa Perbukitan.  

Maka dari itu, Desa Sangiang dianugrahi tanah yang subur. Sehingga 95 persen masyarakat Desa Sangiang bermata pencaharian sebagai petani sayuran dan palawija, walaupun sebagian besar hanya bercocok tanam di musim hujan.

Dikutip Portal Majalengka dari tngciremai.menlhk.go.id, pesta rakyat Pareresan di Desa Sangiang ini diawali dengan berziarah dan berdoa bersama di makam Sunan Parung yang diyakini sebagai tokoh penyebar agama Islam di wilayah situ Sangiang.

Hal ini dilakukan sebagai wujud penghormatan terhadap leluhur yang membangun kawasan Situ Sangiang di sekitar abad ke-15 Masehi.

Baca Juga: DEKADE AWAL TARLING: Tumbuh dari Kesederhanaan, Berkembang dan Diakui Sebagai Jenis Musik Pantura Jawa Barat

Setelah berziarah, iring-iringan acara menuju ke Situ Sangiang. Di danau yang dikeramatkan ini, peserta pesta mencuci kaki dan tangan serta membasuh muka.

Selain itu, pengunjung juga memberi makan ikan dan membawa air telaga. Konon hal itu dapat menambah keberkahan dan keselamatan.

Tradisi ini sudah lama dilakukan oleh warga di Desa Sangiang Majalengka. Biasanya dilaksanakan pada hari Senin di minggu ketiga bulan Rajab setiap tahunnya, tentu saja setelah musim panen selesai.

Salah satu mitos yang dipercaya masyarakat setempat yaitu jika tradisi Pareresan tidak diadakan maka akan terjadi malapetaka atau musibah, misalnya gagal panen yang akan merugikan masyarakat.

Baca Juga: Pesona Desa Wisata Bantaragung Majalengka, Tawarkan Banyak Objek Wisata Hits yang Siap Puaskan Wisatawan

Maka dari itu masyarakat setempat selalu melaksanakan Pareresan karena merupakan suatu adat kebiasaan.

Sebelum masuk ke rangkaian kegiatan, dalam tradisi Pareresan ini biasanya sesepuh dan kuncen setempat melakukan sebuah ritual terlebih dahulu, yaitu menyembelih seekor kambing yang kemudian dimasak menggunakan bumbu-bumbu khas dan tidak biasa.

Ritual tersebut dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai syarat agar acara berlangsung tanpa adanya hambatan.

Bentuk pelaksanaan tradisi Pareresan diawali dengan masyarakat Desa Sangiang yang terdiri dari beberapa dusun yaitu dusun Maranggi, Pasir Bitung, Pendetan, Legok, dan Sangiang Rahayu.

Baca Juga: Casa de Azura, Mini Camp di Majalengka yang Tawarkan Pemandangan dan Suasana Asri

Seluruh dusun tersebut biasanya berkumpul di kantor Balai Desa Sangiang. Hal itu berbeda dengan warga dusun Sangiang Lama yang sudah menunggu di Kawasan Situ Sangiang.

Biasanya mereka menggunakan pakaian adat Suku Sunda yaitu lelaki memakai pangsi dan wanita memakai kebaya, masing-masing dusun biasanya mempunyai seragam kebaya yang berbeda-beda.

Setelah berkumpul, masyarakat langsung berbaris sesuai dengan kelompok atau warga dusunnya masing-masing dengan membawa hasil tani yaitu sayuran dan umbi-umbian yang didekorasi sedemikian rupa, mirip dengan "grebeg maulud" pada budaya Jawa.***

Editor: Sofhal Adnan

Sumber: tngciremai.menlhk.go.id

Tags

Terkini

Terpopuler