Sering Terjadi Konflik Agraria, Beginilah Sistem Kepemilikan Tanah di Jawa Zaman Dulu

9 Februari 2022, 23:55 WIB
Dokumen dan Ilustrasi. FPPI Kota Makassar tuntut penyelesaian konflik agraria dan UUPA /Jurnal Makassar/Muslim

PORTAL MAJALENGKA - Indonesia sering disuguhkan berita tentang konflik agraria. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan, sedikitnya ada 241 konflik agraria di tahun 2020.

Dari 241 konflik agraria tersebut, kasusnya terjadi di 359 daerah di Indonesia berdampak pada 135. 332 kepala keluarga.

Seperti yang terjadi baru-baru ini, konflik agraria terjadi di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah. Konflik agraria ditengarai antara warga dengan perusahaan tambang batu andesit.

Baca Juga: Buntut Kisruh Warga Wadas, Rukun Tani Sumber Rejo Minta Gubernur Jawa Tengah Hentikan Aktivitas Tambang

Lalu bagaimana awal mula sistem kepemilikan tanah? Menyikapi hal itu Portal Majalengka merangkum sejarah tentang kepemilikan tanah di Jawa yang disebut sejarawan dengan istilah kepemilikan tanah tradisional.

Sebelum 1870, konsep-konsep barat tentang kepemilikan tanah tidak dikenal oleh masyarakat Jawa. Bahkan setelah tahun 1870 pun masyarakat Jawa tetap mempertahankan bentuk kepemilikan tanah secara tradisonal. Padahal di tahun itu "kepemilikan perorangan" dan "kepemilikan komunal" sudah diperkenalkan oleh orang-orang barat (kolonial).

Menurut Wiradi dalam bukunya, "Dua Abad Penguasaan Tanah, terbitan tahun 1984", menjelaskan tentang beberapa bentuk kepemilikan tanah tradisional, di antaranya;

Baca Juga: Ganjar Pranowo Siap Bertanggung Jawab Peristiwa Wadas, Minta Warga Dibebaskan

1. Tanah Yasa, yaitu tanah yang dimiliki secara turun temurun. Dalam artian bahwa kenyataannya pemilik tanah dahulu adalah keluarganya, baik orang tua atau kakek buyutnya yang pertama kali membuka tanah tersebut.

2. Norowito Gogolan, pakulen, playangan, kasikepan adalah tanah pertanian milik bersama. Berdasarkan tanah tersebut warga dapat memperoleh bagian dengan syarat-syarat tertentu. Untuk memiliki hak garap seseorang syaratnya harus sudah menikah, mempunyai rumah dan pekarangan, serta bersedia melakukan kerja wajib di desa.

3. Tanah Titisara, Bondo Deso, Kas Desa adalah tanah yang tuannya adalah pemerintah Desa. Biasanya tanah tersebut disewakan dengan mekanisme lelang kepada siapa pun yang ingin menggarapnya. Nantinya hasil itu digunakan untuk anggaran rutin pemeliharaan desa, pergi perbaikannya jalan, jembatan dan sarana umum lainnya.

Baca Juga: Spoiler Drama Squid Game Season 2 dan 3, Begini Kata Sutradara dan Pihak Netflix

4. Tanah Bengkok, adalah tanah milik desa yang diperuntukan untuk pejabat yang menjabat di pemerintahan desa. Biasanya hasilnya dianggap gaji atau honor pejabat tersebut.

Tidak beda jauh dengan Wiradi Kontjoranigrat juga berpendapat dalam bukunya "Sejarah Teori Antropologi, diterbitkan tahun 1987." Ia menyebutkan ada empat klasifikasi sistem kepemilikan tanah di Jawa, di antaranya;

1. Sistem Milik Umum atau Komunal dalam istilah Barat, tanah itu berarti secara pemakainnya beralih (Norowito);

Baca Juga: Ingin Nonton MotoGP Mandalika Secara Langsung? Simak Aturan dan Syarat Berikut

2. Sistem Milik Umum (Noworowito Giliran) secara pemakainnya tanah itu bergilir sesuai kesepakatan;

3. Sistem milik Umum secara tetap ( Norowito Ajeg) ;

4. Sistem kepemilikan tanah buang didapat secara turun temurun (yasa).

Baca Juga: Tes Psikologi: Mengungkap Kepribadian dalam Dirimu yang Tersembunyi

Ahmad Dasuki rekan Penulis Zamzami Amin dalam Bukunya Babankana mengonfirmasi secara pasti sistem tersebut tidak diketahui kapan awal mula dilaksanakannya.

Namun berdasarkan laporan Mayor Ranneft disebutkan pada tahun 1919-1923 di Cirebon sendiri sudah mempraktikkan tanah komunal yang peraturannya sudah dipegang oleh desa.***

Editor: Husain Ali

Tags

Terkini

Terpopuler