Mengenal Sunda Wiwitan Ajaran Leluhur Kapitayan yang Dianut Suku Baduy Banten

- 2 Juni 2022, 08:00 WIB
Budayawan melakukan aksi dukung Sunda Wiwitan Cigugur di depan Gedung Sate Bandung, Jawa Barat, Senin, 27 Juli 2020.
Budayawan melakukan aksi dukung Sunda Wiwitan Cigugur di depan Gedung Sate Bandung, Jawa Barat, Senin, 27 Juli 2020. /Antara/Novrian Arbi/

PORTAL MAJALENGKA - Suku Baduy adalah salah satu suku yang ada di Indonesia, penduduk suku Baduy tinggal di pedalaman Banten.

Memiliki adat dan budaya tersendiri bagi suku Baduy, yang mereka pegang teguh adat istiadat turun temurun dari para leluhurnya.

Suku Baduy sangat dikenal dengan Suku yang sangat taat dalam menjalankan aturan adat, dan mereka tidak berani melanggar larangan para leluhur.

Baca Juga: Kisah Putri Prabu Siliwangi, Kabur dari Kerajaan Hingga Lompat ke Laut Selatan Benarkah ia Nyi Roro Kidul?

Suku Baduy Banten ternyata masih menganut ajaran para leluhur yaitu ajaran Sunda Wiwitan atau ajaran Kapitayan.

Perlu kita ketahui bersama ajaran yang dianut para leluhur di Nusantara adalah ajaran Kapitayan atau suku Baduy menyebutnya ajaran Sunda Wiwitan.

Dilansir Portal Majalengka dari buku Atlas Walisongo Karya Agus Sunyoto, tentang ajaran nenek moyang di Nusantara yaitu ajaran Kapitayan.

Secara sederhana, Kapitayan dapat digambarkan sebagai suatu ajaran keyakinan yang memuja sembahan utama yang disebut Sanghyang Taya,

Baca Juga: Dialog Tingkat Tinggi Syekh Siti Jenar dan Sunan Gunung Jati: Apa Ini Disampaikan ke Santrimu?

Sanghyang Taya bermakna Hampa, Kosong, Suwung, atau Awang-uwung. Taya bermakna Yang Absolut, yang tidak bisa dipikir dan dibayang bayangkan. Tidak bisa didekati dengan panca indra.

Orang Jawa kuno mendefinisikan Sanghyang Taya dalam satu kalimat “tan kena kinaya ngapa” alias ‘tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya’.

Kata Awang-uwung bermakna Ada tetapi tidak ada, tidak ada tetapi Ada.

Untuk itu, supaya bisa dikenal dan disembah manusia, Sanghyang Taya digambarkan mempribadi dalam nama dan sifat Ilahiah yang disebut Tu atau To, yang bermakna ‘daya gaib’ bersifat adikodrati.

Baca Juga: JARANG YANG TAHU! di Kompleks Pemakaman Sunan Gunung Jati Ada Barang yang Sangat Berharga

Tu atau To adalah tunggal dalam Dzat, Satu Pribadi atau tunggal, Tu lazim disebut dengan nama Sanghyang Tunggal.

Sanghyang Tunggal memiliki dua sifat, yaitu:

1. Kebaikan

Tu yang bersifat Kebaikan disebut Tuhan yang sering disebut dengan nama Sanghyang Wenang.

2. Ketidak Baikan

Tu yang bersifat Ketidak baikan disebut dengan nama Sang Manikmaya. Demikianlah, Sanghyang Wenang dan Sang Manik maya pada hakikatnya adalah sifat saja dari Sanghyang Tunggal.

Baca Juga: Baju Kuning Sunan Gunung Jati Diambil Gadis Cantik, Kisah Cinta Pertama di Kebun Cempaka Putih

Karena itu, baik Sanghyang Tunggal, Sanghyang Wenang, maupun Sang Manikmaya pada dasarnya bersifat gaib, tidak dapat didekati dengan panca indra maupun dengan akal pikiran.

Sanghyang Tunggal hanya diketahui sifat-Nya saja. Oleh karena Sanghyang Tunggal dengan dua sifat utama itu bersifat gaib,

Untuk dapat memuja-Nya dibutuhkan sarana-sarana yang bisa didekati pancaindra dan alam pikiran manusia.

Demikian sedikit mengenal tentang ajaran leluhur penduduk pribumi Nusantara, yaitu ajaran Kapitayan atau yang sekarang masih dianut oleh Suku Baduy ajaran Sunda Wiwitan.

Baca Juga: Tanpa Egy dan Witan, Hasil Laga Persahabatan Timnas Indonesia vs Bangladesh Berakhir Imbang

Kemiripan antara ajaran Kapitayan memiliki kesamaan identik dengan ajaran yang dianut suku Baduy sekarang yaitu Sunda Wiwitan atau percaya terhadap Sanghyang Tunggal. Wallahu alam bishowab.***

Editor: Andra Adyatama

Sumber: Atlas Walisongo


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x