Berawal dengan adanya campur tangan kolonial dalam hal monopoli ekonomi serta politik terhadap kerajaan Cirebon, rakyat Karesidenan Cirebon tak bisa berbuat apa-apa.
Hingga bangsa Tionghoa mulai berlaku kejam atas rakyat Karesidenan Cirebon dengan cara menyewa tanah kepada kerajaan.
Saat tanah disewa, tanah ditanami bahan pangan, namun rakyat tak dapat jatah apapun selain harga yang melambung. Maka orang-orang Tionghoa yang miliki sikap kejam tersebut disebut Babah.
Akibatnya rakyat Karesidenan Cirebon banyak yang kelaparan dan melakukan praktek prostitusi di wilayah Pantura untuk bertahan hidup.
Dengan awal mula keprihatinan tersebut, sosok pejuang asal Majalengka ini mengobarkan semangat rakyat untuk berjuang mengusir kekejaman dengan pemberontakan.
Sebelum itu dia mengobarkan semangat dengan pidatonya yang terkenal yakni "Babah mah bakal dicacag
Disiksik diipis-ipis
Dicacag diwalang-walang
Getihna arek diuyup
Diburakeun ka bangawan
Sugan lauk baranahan
Tulangna diawur-awur
Leuweung jati sugan subur
Polona arek dicokrok
Diburakeun ka galengan
Rawinian sugan montok."
Masih panjang ucapan sosok tersebut yang dikenal sebagai Ki Bagus Rangin dan membuat semangat rakyat Karesidenan Cirebon meletup-letup kembali.
Antara tahun 1802-1818, Ki Bagus Rangin melakukan pemberontakan terhadap kesewenang-wenangan di wilayah Cirebon, Majalengka, Indramayu dengan bantuan dari berbagai daerah Jawa Barat.