Gara-Gara Ini Syekh Quro Tidak Jadi Diusir dari Karawang Oleh Penguasa Pajajaran

- 1 Agustus 2022, 12:19 WIB
Masjid Agung Syekh Quro Karawang. Gara-Gara Ini Syekh Quro Tidak Jadi Diusir dari Karawang Oleh Penguasa Pajajaran
Masjid Agung Syekh Quro Karawang. Gara-Gara Ini Syekh Quro Tidak Jadi Diusir dari Karawang Oleh Penguasa Pajajaran /Google Maps

PORTAL MAJALENGKA - Laksamana Te Ho atau Ceng Ho dalam muhibah perjalanannya ke Nusantara, terdapat seorang Syekh dari Persia bernama Syekh Hasanudin atau Syekh Quro Karawang.

Hal itu tercatat dalam manuskrip Nagarakretabhumi saga III dan IV. 

Di Karawang, Syaikh Hasanuddin dikisahkan menikah dengan gadis bangsawan Karawang bernama Nay Retna Parwati dan mendirikan pesantren di Tanjung Pura.

Baca Juga: 9 Cara Agar Tidak Malas Mendirikan Sholat 5 Waktu

Pendirian pesantren diperkirakan pada tahun 1418 Masehi, yaitu setahun setelah kunjungan armada Cina di bawah laksamana Cheng Ho yang ke-5 pada 1417 Masehi.

Dengan cara dakwah yang simpatik melalui uraian Agama Islam yang mudah dipahami dan terutama keindahan suaranya dalam melantunkan Al-Qur'an masyarakat sekitar menjadi tertarik terhadap Islam.

Dari situlah Seyekh Hasanudin dikenal sebagai Syekh Quro asal kata Quro yang berarti ahli membaca Al-Qur'a. 

Baca Juga: KISAH LANGKA, Gus Dur Mengerjai Kiai Gontor Sampai Terkaget saat Kuliah di Mesir

Namun keberhasilan itu menemui kendala, Aamir Sutalangga dalam buku Prabi Siliwangi menjelaskan bahwa letak pesantren Syekh Quro amatlah strategis.

Karna jalan darat utama tersebut menghubungkan ibukota Pakuan Pajajaran dengan Cileungsi atau Cibarusa, Warunggede, Tanjungpura, Karawang, Cikao, Purwakarta.

Juga Sagalaherang, Sumedang, Tomo, Sindangkasih, Raja Galuh, Talaga, Kawali, dan ke pusat Kerajaan Galuh Pakuan di sekitar Ciamis dan Bojong Galuh.

Baca Juga: Abu Nawas Menang Banyak, Saat Terima Tantangan Abu Jahil

Mengingat strategisnya pesantren Syekh Quro, Agus Sunyoto dalam bukunya Atlas Walisongo menuliskan bahwa Penguasa Pajajaran kala itu Prabu Anggalarang menganggap kegiatan dakwa Syekh Quro meresehkan.

Sehingga ia memerintahkan hulu balang dan para tentaranya untuk mengusir Syekh Quro dari tempatnya.

Syaikh Quro mematuhi perintah Prabu Anggalarang untuk meninggalkan Karawang dan pergi ke Malaka.

Ketika berpamitan kepada Ki Gedeng Tapa, sahbandar Muara Jati di Cirebon, Syaikh Quro dipercaya untuk mendidik Nyi Subanglarang, puteri Ki Gedeng Tapa untuk diajari Agama Islam di Malaka.

Tak lama di Malaka, Syaikh Quro dikisahkan kembali ke Karawang dan mendirikan langgar (mushalla) tidak jauh dari pelabuhan. Seperti semula, dakwah Syaikh Hasanuddin mendapat sambutan penduduk setempat.

Sebentar saja, langgar itu sudah berkembang menjadi pesantren tempat penduduk belajar Agama Islam. Berita tentang berdakwah kembalinya
Syaikh Quro di Karawang membuat marah Prabu Anggalarang yang pernah melarang dan mengusirnya.

Prabu Anggalarang kemudian mengirim putera mahkota, Raden Pamanah Rasa untuk menutup pesantren Syaikh Quro.

Namun, saat sampai di Pesantren Karawang, Raden Pamanah Rasa justru terpesona oleh keindahan suara Nyi Subanglarang yang sedang membaca al-Qur’an.

Akhirnya, Raden Pamanah Rasa mempersunting Nyi Subanglarang, dan tidak menutup Pesantren Karawang.***

 

Editor: Muhammad Ayus

Sumber: Buku Atlas Walisongo


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x