PORTAL MAJALENGKA- Lahirnya seorang wali keturunan asli Jawa yang kelak akan mendakwahkan Islam melalui seni dan budaya bernama Raden Mas Sa’id atau Raden Mas Sahid alias Sunan Kalijaga.
Dikutip Portal Majalengka dari Jurnal Analisis, Volume XVI, Nomor 1, Juni 2016 bahwa Raden Mas Sa’id kecil dilahirkan di Tuban, Jawa Timur pada pertengahan abad ke 15 M.
Berbarengan dengan masa akhir Kerajaan Majapahit di Pulau Jawa. Mengenai tahun kelahirannya, terdapat sedikit perbedaan di kalangan para pengkaji.
Baca Juga: Macan Tutul Hendak Terkam Seorang Habib, Beruntung Mbah Kholil Cucu Sunan Gunung Jati Datang
Sebagian menyebut kelahirannya pada tahun 1430 M. Sementara yang lainnya menyatakan tahun 1450 M atau 1455 M.
Pendapat kedua tampaknya lebih dapat diterima dan menjadi acuan banyak para penulis sejarah, karena perhitungan usianya yang mencapai 131 tahun dihitung berdasarkan kelahirannya pada tahun 1455 M dan wafatnya pada tahun 1586 M.
Jika dihitung berdasarkan eksistensi kerajaan-kerajaan abad pertengahan di Pulau Jawa, masa hidup Sunan Kalijaga mengalami empat masa kerajaan di Pulau Jawa; akhir Kerajaan Majapahit, Kerajaan Islam Demak, Kerajaan Islam Pajang, dan (awal) Kerajaan Mataram Islam.
Baca Juga: Wali Sakti Syekh Muhammad Sholeh di Gunung Santri, Utusan Sunan Gunung Jati
Masa hidupnya yang panjang tersebut dapat dibagi dalam beberapa tahapan masa berikut; masa kecil dan masa remaja, masa dewasa (mencari ilmu), masa menyiarkan agama Islam dan berdakwah, dan masa akhir hayatnya.
Masa kecil Raden Said (Sahid) tidak banyak diceritakan, kecuali ia hidup bersama keluarganya di Tuban, Jawa Timur.
Sejak kecil, Raden Said telah dididik agama Islam, belajar alQur’an dan menjalankan kewajiban agama Islam, seperti shalat dan puasa.
Baca Juga: KISAH WALI SUFI, Saat Kejujuran Abu Nawas Diuji Oleh Bangsa Jin
Meskipun pada waktu itu Kerajaan Majapahit masih tetap eksis menjelang keruntuhannya, namun agama Islam sudah mulai berkembang di wilayah Tuban.
Islamisasi Walisongo telah mulai berjalan dan Kerajaan Majapahit cukup toleran terhadap agama Islam. Selain belajar di Tuban, dalam sumber lain disebutkan bahwa Raden Said juga sempat belajar di Pesantren Ampel Denta, Surabaya, milik Sunan Ampel.
Nampaknya, di sini ia belajar agama Islam melanjutkan pelajaran agamanya di Tuban hingga usia remaja. Namun dalam usia remaja, cerita mengenai Raden Sa’id banyak memberikan
keterangan sebagai seorang yang nakal dan suka merampok.
Sejak remaja Saden Sa’id telah memperhatikan lingkungan sekeliling sekitar Karasidenan Tuban di bawah Tumenggung Walatikta, ayahnya sendiri.
Ketika itu, di Keresidenan Tuban, terjadi kesenjangan sosial yang mengkhawatirkan. Raden Said mengetahui kewajiban pemberian upeti sebagai bentuk ketidak-adilan, karena upeti itu diberikan kepada raja, bukan kepada rakyat jelata yang mendirita.
Ia akhirnya mulai berpikir untuk membela rakyat jelata dengan cara memberikan upeti itu kepada mereka.
Upaya pun dilakukannya dengan mencuri upeti di malam hari. Ia memasuki gudang tempat penyimpanan upeti untuk Kerajaan Majapahit, lalu mengambilnya untuk dibagikan kepada warga miskin dan papa yang lebih memerlukannya.
Raden Walatikta, ayahnya yang menjabat sebagai Adipati Tuban, berusaha mencari tahu si pencuri upeti dan memerintahkan pengamanan yang ketat di wilayahnya.
Ia pun berusaha untuk mengetahui si pencuri, karena telah banyak menguras upeti-upeti tersebut, sehingga ayahnya bersiap-siap untuk menangkapnya.
Suatu malam Adipati Walatikta, berhasil
menangkap pencuri upeti itu, yang tak lain adalah putranya sendiri. Merasa malu dengan ulah putranya, Walatikta kemudian nmengusirnya keluar dari rumahnya.
Dia akan menerimanya kembali di Tuban jika Raden Mas Sa’id mampu menggetarkan dinding-dinding Kadipaten Tuban melalui bacaan ayat suci al- Qur’an. ***