Sosok Muhammad Abduh, Sang Pembaru Islam Pendobrak Pintu Ijtihad Yang Tertutup

27 Agustus 2022, 16:00 WIB
Sosok Muhammad Abduh, Sang Pembaru Islam Pendobrak Pintu Ijtihad Yang Tertutup /

PORTAL MAJALENGKA - Muhammad Abduh dilahirkan dari keluarga petani di Mesir pada kisaran tahun 1849 M/1244 H. Ayahnya bernama Abduh Hasan Khairullah, berasal dari Turki.

Sedangkan ibunya seorang keturunan Arab. Muhammad Abduh sejak kecil sudah diajar membaca Al-Qur'an.

Zelain itu, ia juga diajari menulis. Di usianya yang ke 13 tahun, ia diberangkatkan ke Tantan untuk belajar di mesjid Syekh Ahmad.

Baca Juga: Mengenal Imam Hanbali, Sosok Pendiri Madzhab Hanbali

Selama dua tahun berada disana, ia merasa tidak mengerti apa-apa, mungkin ini dikarenakan metode pengajarannya yang bersifat hafalan.

Selain tidak mengerti, metode hafalan membuatnya jenuh, oleh sebab itu ia memutuskan untuk pulang dan menjadi petani.

Pada usia yang ke 16 tahun, Muhammad Abduh melangsungkan pernikahan. Kemudian setelah 40 hari pernikahannya, ia dipaksa orang tuanya kembali belajar ke Tanta.

Baca Juga: Mengenal Imam Hanafi, Sosok Pendiri Madzhab Hanafi

Karena metode hafalan menjadi trauma yang masih melekat kuat dalam dirinya, ia pun pergi ke rumah pamannya. Akan tetapi disini, diluar dugaannya ia bertemu dengan paman ayahnya, Syekh Darwisy Khadr, seorang yang lebih menguasai metode pengajaran.

Syekh Darwisy ini menggunakan metode text reading. Setiap kalimat yang dibaca oleh Muhammad Abduh diberikan penjelasan yang luas oleh Syekh Darwisy.

Beberapa hari kemudian, Muhammad Abduh mulai tertarik dengan metode ini dan semangat belajarnya mulai tumbuh, yang kemudian ia memutuskan untuk melanjutkan kembali pelajarannya di Tanta.

Baca Juga: Mengenal Lebih Jauh Sosok Imam Syafii, Pendiri Mazhab Syafiiyah

Pada usianya yang ke 17 tahun, Muhammad Abduh melanjutkan studinya ke Al-Azhar, Kairo. Lima tahun kemudian, ia pun bertemu dengan Al-Afghani yang datang kesana.

Muhammad Abduh sangat tertarik dengan kuliah-kuliah yang diberikan oleh Al-Afghani dan sejak itulah ia menjadi murid Al-Afghani yang paling setia.

Pada tahun 1877, Muhammad Abduh telah menyelesaikan studinya di Al-Azhar dengan meraih gelar Alim. Setelah itu, ia mulai mengajar di al-Azhar sendiri, kemudian di Darul Ulum. Di samping itu ia juga mengajar di rumahnya sendiri.

Di tahun 1879, Muhammad Abduh dituduh terlibat dalam gerakan politik anti pemerintah. Ia kemudian diasingkan keluar kota Kairo. Setahun kemudian ia diizinkan kembali ke Kairo.

Pada tahun yang sama ia diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintah Mesir, Al-Waqa'ial Misriyyat. Selang dua tahun, ia turut berperan dalam gerakan revolusi nasionalis Urabi Pasya.

Muhammad Abduh merupakan pembaharu agama dan sosial pada zaman modern. Ia penganjur yang sukses dalam membuka pintu ijtihad untuk menyesuaikan Islam dengan tuntunan zaman modern, walaupun pada saat itu ia diserang oleh orang-orang yang memandang bahwa pembaharuan dan pendapat-pendapatnya membahayakan kaum Muslim.

Ia juga sosok pembaharu yang lebih banyak menekankan perhatiannya dalam bidang pendidikan. Ia berusaha keras melakukan penyadaran intelektual.

Baginya, pendidikan merupakan lembaga yang paling strategis untuk mengadakan perubahan-perubahan sosial secara sistematik. Ini sama sekali tidak berarti bahwa ia mengecilkan peranan lembaga politik.

Diantara gagasan Muhammad Abduh yang paling mendasar dalam sistem pendidikan ialah bahwa ia sangat menentang sistem dualisme. Menurutnya, dalam sekolah-sekolah umum harus diajarkan agama, sedangkan dalam sekolah agama harus diajarkan ilmu pengetahuan modern.

Dalam bidang politik, Muhamad Abduh sangat menentang sistem pemerintahan yang otoriter. Menurutnya, kondisi pemerintah otoriter pada bangsa-bangsa Muslim sebagai akibat kebodohan faqih dan para penguasa.

Ia baranggapan faqih bersalah karena tidak memahami politik dan bergantung pada penguasa, sehingga penguasa tidak mempertanggungjawabkan kebijakannya, sementara penguasa bukan hanya tidak tahu bagaimana memerintah dan menegakan keadilan, tapi mereka juga merusak faqih dan memanfaatkan faqih untuk kepentingannya sendiri.

Menurutnya, dalam Islam tidak ada otoritas final, selain otoritas Allah dan Nabi. Islam membentangkan jalan yang menunjukan batas-batas dan mengidentifikasi hak-hak.

Mengenai wanita, Muhammad Abduh menegaskan bahwa dalam Islam terdapat ajaran gender; pria dan wanita punya hak dan kewajiban yang sama.

Lebih dari itu ia menegaskan bahwa jika wanita memang punya kualitas pemimpin dan kualiitas membuat keputusan, maka keunggulan pria tidak berlaku lagi. ***

 

 

Editor: Muhammad Ayus

Sumber: Buku 125 Ilmuan Muslim Pengukir Sejarah

Tags

Terkini

Terpopuler