PORTAL MAJALENGKA - Sebagaimana dicatat dalam historiografi dan cerita-cerita legenda Jawa, tokoh Raden Rahmat yang masyhur disebut Sunan Ampel berasal dari negeri Champa.
Sebab itu, jejak-jejak tradisi keagamaan Champa muslim sampai saat ini terlihat pada tradisi keagamaan yang dijalankan masyarakat muslim tradisional di pesisir utara Jawa yang menjadi wilayah dakwah Sunan Ampel.
Dalam tradisi keagamaannya orang-
orang Majapahit mengenal upacara peringatan terhadap orang mati yang disebut sraddha, yakni upacara meruwat arwah yang dilakukan dua belas tahun setelah kematian seseorang.
Baca Juga: Sunan Ampel Melakoni Amaliah Rohani, Ilmunya Hanya Dapat Dipahami Dengan Mata Batin
Setelah kedatangan para penyebar Islam Champa yang dipelopori Sunan Ampel, penduduk Majapahit mulai mengenal tradisi keagamaan “kenduri” dan memperingati kematian seseorang pada hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, dan ke-1000, yang jelas-jelas merupakan tradisi keagamaan yang dibawa kaum muslim Champa.
Dalam buku Kerajaan Champa terbitan EFEO (1981) yang dikutip oleh Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongo disebutkan bahwa orang-orang Champa muslim memiliki kebiasaan memperingati kematian seseorang pada hari ke-3, ke-7, ke-10, ke-30, ke-40, ke-100, dan ke-1000.
Orang-orang Champa juga punya kebiasaan untuk men-talqin orang mati, melakukan peringatan haul, membuat Bubur Asyuro pada perayaan Hari
Asyuro, memeriahkan peringatan Maulid Nabi Saw, yang ternyata sampai saat ini dijalankan sebagai tradisi keagamaan oleh masyarakat muslim di Jawa.
Baca Juga: Bukan Saja Sebagai Wali, Sunan Ampel Bupati Pertama di Surabaya
Menurut S.Q. Fatimy dalam Islam Comes to Malaysia (1963), mazhab orang-orang Islam di Champa beraliran Syi ’ah. Namun, bagian terbesar orang-orang Islam Champa sudah kehilangan orientasi dan mengalami diskontinuitas sejarah.
Sehingga tidak mengetahui lagi secara benar jika Islam yang mereka jalankan adalah Islam pengaruh Syi’ah, terutama Syi’ah Zaidiyah.